Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar
rupiah tercatat di posisi Rp14.215 per
dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan pasar spot Jumat (22/8) sore. Rupiah menguat 0,17 persen dibandingkan penutupan perdagangan Kamis (21/8) yakni Rp
14.239 per dolar AS.
Sementara itu, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) menempatkan rupiah di posisi Rp14.249 per dolar AS atau melemah dibanding kemarin Rp14.234 per dolar AS. Pada hari ini, rupiah bergerak di rentang Rp14.208 hingga Rp14.264 per dolar AS.
Sore hari ini, sebagian besar mata uang utama Asia melemah terhadap dolar AS. Dolar Hong Kong melemah 0,01 persen, ringgit Malaysia sebesar 0,04 persen, dolar Singapura 0,08 persen, yen Jepang 0,17 persen, won Korea Selatan 0,28 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, terdapat pula mata uang yang menguat. Selain rupiah, penguatan juga terjadi pada peso Filipina sebesar 0,04 persen, yuan China 0,06 persen, rupee India 0,21 persen, dan baht Thailand 0,26 persen.
Kemudian, mata uang negara maju juga tercatat melemah terhadap dolar AS. Poundsterling Inggris melemah 0,34 persen dan euro keok 0,12 persen. Sementara itu, dolar Australia menguat 0,05 persen.
Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan penguatan rupiah disebabkan karena pelaku pasar fokus menanti pernyataan Gubernur bank sentral AS The Federal Reserves (The Fed) Jerome Powell di pertemuan tahunan bank sentral AS di Jackson Hole, AS pada Kamis (23/8), waktu setempat.
Sebab, ada kemungkinan kebijakan moneter The Fed akan bernada
dovish atau melonggar seiring tanda-tanda resesi mulai terbaca di pasar keuangan AS.
"Pasar ingin mengetahui apakah bank sentral akan memberikan tanda seberapa jauh mereka siap untuk memangkas suku bunga. Pasar saat ini memperkirakan pemotongan lain dalam pertemuan pada September," jelas Ibrahim, Jumat (23/8).
[Gambas:Video CNN]Kemudian, dari sisi dalam negeri, pelaku pasar menyambut baik penurunan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin kemarin. Namun, di sisi lain, pelaku pasar sangsi bahwa penurunan suku bunga acuan bakal menurunkan imbal hasil instrumen investasi sehingga mempengaruhi minat investor.
"Apalagi dengan situasi yang penuh ketidakpastian, bahkan ada ancaman resesi, pelaku pasar lebih memilih selamatkan diri masing-masing," pungkas dia.
(glh/sfr)