Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden RI Joko Widodo saat memimpin Rapat Terbatas tentang Ketersediaan Gas untuk Industri di Kantor Presiden Komplek Istana Negara, Jakarta kemarin menyoroti masih mahalnya harga gas untuk industri.
Presiden meminta agar harga gas untuk industri dalam negeri harus mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Di antaranya adalah harga dapat menjadi US$ 6/ MMBTU dan diwujudkan pada kuartal I/ 2020.
Kepala BPH Migas M. Fanshurullah Asa yang turut hadir juga dalam Rapat Terbatas tersebut mendukung arahan Presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menuturkan komponen harga gas hilir seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 58 Tahun 2017 tentang Harga Jual Gas Bumi, adalah harga gas hulu ditambah biaya transmisi, biaya distribusi, dan biaya niaga.
Penetapan tarif tersebut ditentukan secara akuntabel, transparan, adil dan wajar dengan mempertimbangkan kepentingan antara
transporter (Badan Usaha pemegang Izin Usaha Pengangkutan gas bumi melalui pipa) dan para
shipper (pengguna jasa pengangkutan gas bumi melalui pipa).
Metode perhitungan tarif yang dipakai BPH Migas menggunakan metode yang umum digunakan di dunia yaitu berdasarkan
cost of service dibagi dengan volume gas yang mengalir.
Biaya yang dimaksud terdiri dari semua biaya yang dikeluarkan oleh
transporter dalam menjalankan kegiatan pengangkutan gas bumi melalui pipa dan keuntungan yang wajar dari investasi.
"Menindaklanjuti arahan Bapak Presiden dalam rapat terbatas tersebut, BPH Migas mendukung terobosan Bapak Presiden untuk menurunkan harga gas untuk industri dan BPH Migas akan mereviu toll fee beberapa ruas transmisi untuk mendukung target harga gas industri sebesar US$ 6 / MMBTU" kata Fanshurullah dalam rilisnya, Selasa (7/1).
Penilaian ulang sendiri bakal dilakukan terhadap ruas transmisi yang tarifnya relatif tinggi dikarenakan rendahnya komitmen
shipper dan tidak patuh terhadap Gas Transportation Agreement untuk penyaluran gas (volume) sesuai yang telah disepakati.
Selain itu, kata Fanshurullah, untuk mendukung kebijakan Presiden tersebut harus ada perubahan paradigma dari gas bumi yang hanya sebagai komoditas.
"Diubah menjadi faktor produksi yang dapat mewujudkan nilai tambah dalam pembangunan," tutupnya.
(asa)