Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (
YLKI) mencatat setidaknya ada lima jenis pengaduan terbanyak dari
konsumen yang masuk ke mereka di tengah masa pandemi
virus corona (covid-19). Jumlah tersebut dihitung berdasarkan aduan yang masuk ke mereka sejak Maret 2020.
Aduan
pertama, yang total persentasenya mencapai 33.3 persen dari total aduan yang masuk berkaitan dengan masker dan
hand sanitizer. Kedua, aduan berkaitan dengan masalah transportasi. Total aduan yang masuk berkaitan dengan masalah transportasi selama masa pandemi virus corona mencapai 25 persen.
Ketiga, dengan bobot aduan sebanyak 16.7 persen berkaitan dengan belanja
online. Keempat, aduan yang berkaitan dengan jasa keuangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Total aduan yang masuk mencapai 11.1 persen. Kelima, 5.5 persen berkaitan dengan supermarket dan sisanya 2.7 layanan lainnya.
"Yang
hand sanitizer, masker dan juga obat berkaitan dengan harga yang tinggi dan memang kita rasakan di lapangan," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi di dalam sebuah diskusi teleconference, Jakarta, Selasa (21/4).
Berkaitan dengan transportasi publik, ia menambahkan aduan berkaitan dengan pembatalan rencana mudik dan bepergian ke luar negeri.
"Transportasi ini menyangkut
refund tiket yang susah ataupun
refund tiket pesawat misalnya dikembalikan tetapi dengan voucher. Ini tidak
fair ya menurut saya," kata Tulus.
Untuk belanja online
, aduan berkaitan dengan lonjakan konsumen yang terjadi di masa pandrrmi covid-19. Di tengah peningkatan tersebut konsumen merasakan praktik ilegal, seperti penipuan pada jual beli masker yang sempat meresahkan masyarakat.
[Gambas:Video CNN]Selain itu aduan kerap datang dari kategori jasa keuangan yang berupa pinjaman
online kepada warga yang kesusahan mendapatkan pemasukan di tengah covid-19.
"
Leasing paling banyak diadukan, seperti restrukturisasi ditolak, kendaraan diambil
debt collector, kendaraan hilang tapi masih ditagih," kata Tulus.
"Pengaduan Perbankan, kartu kredit dan
debt collector yang meneror, mereka memang dibolehkan tetapi harus ada syarat dari Bank Indonesia," tambahnya.
Tulus menyebut jika aduan restrukturisasi terjadi karena adanya komunikasi tidak baik dari pemerintah dengan masyarakat. Komunikasi yang kurang tersebut terkait pernyataan relaksasi atau restrukturisasi kepada para debitur selama masa pandemi covid-19 berlangsung.
"Masyarakat menyimpulkan bahwa semua akan direlaksasi padahal faktanya tidak seperti itu, dan pada akhirnya konsumen kecewa," kata Tulus.
Sebelumnya pada (24/3), Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memberikan relaksasi kepada pelaku usaha mikro dan kecil berupa penundaan pembayaran cicilan selama satu tahun ke depan. Relaksasi berlaku untuk usaha mikro yang mengambil kredit di perbankan, termasuk pembiayaan di industri keuangan non bank (IKNB), seperti multifinance dan lembaga keuangan mikro.
Selain itu, Jokowi juga menegaskan akan memberikan keleluasaan terkait pembayaran kredit kendaraan bermotor bagi para pekerja moda transportasi dengan tenggat waktu sampai setahun. Misalnya, ojek
online.
Namun pada (17/4) lalu. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan kepada bank untuk hanya memberi keringanan restrukturisasi kredit kepada debitur yang benar-benar menghadapi tekanan ekonomi akibat virus corona.
Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan pihaknya juga meminta bank untuk memberikan restrukturisasi sesuai hasil asesmen yang akurat sesuai profil debitur dalam jangka waktu satu tahun.
"Hanya diberikan pada debitur-debitur yang benar-benar terdampak Covid-19," kata Anto dalam keterangan tertulis, Jumat (17/4).
(khr/agt)