Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.082 per dolar AS pada perdagangan pasar spot Rabu (17/6) sore. Mata uang Garuda menguat 8 poin atau 0,05 persen dari Rp13.980 pada Selasa (16/6).
Sementara kurs referensi Bank Indonesia (BI), Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah di posisi Rp14.234 per dolar AS atau melemah dari Rp14.155 per dolar AS pada Selasa (16/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rupiah menguat bersama dolar Singapura 0,09 persen, rupee India 0,06 persen, dan peso Filipina 0,04 persen. Sedangkan mayoritas mata uang Asia lainnya terperosok ke zona merah.
Won Korea Selatan melemah 0,57 persen, baht Thailand minus 0,16 persen, yen Jepang minus 0,08 persen, dan ringgit Malaysia minus 0,05 persen. Hanya yuan China dan dolar Hong Kong yang stagnan dari mata uang Negeri Paman Sam.
Mayoritas mata uang utama negara maju justru menguat dari dolar AS. Rubel Rusia menguat 0,17 persen, dolar Australia 0,17 persen, dolar Kanada 0,08 persen, dan franc Swiss 0,06 persen.
Hanya poundsterling Inggris dan euro Eropa yang melemah dari dolar AS, masing-masing minus 0,11 persen dan minus 0,06 persen.
Analis sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan penguatan nilai tukar rupiah terjadi karena pelaku pasar keuangan masih cukup optimis dengan kondisi ekonomi Indonesia di tengah pandemi virus corona atau covid-19.
Hal ini ditandai dengan mulai berlangsungnya aktivitas ekonomi di masa transisi menuju tatanan hidup baru (new normal).
Optimisme ini kemudian seolah menepis kekhawatiran penurunan pertumbuhan ekonomi dari pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan ekonomi nasional akan jatuh ke minus 3,1 persen pada kuartal II 2020.
"Ramalan tersebut masih dipandang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara," kata Ibrahim, Rabu (17/6).
Indikasi optimisme pasar juga melihat posisi cadangan devisa Indonesia yang masih mencukupi. Cadangan devisa meningkat dari US$127,9 miliar pada April 2020 menjadi US$130,5 miliar pada Mei 2020.
Dari eksternal, Ibrahim mengatakan pergerakan mata uang di dunia terpengaruh sentimen rencana stimulus bank sentral AS, The Federal Reserve. Rencananya, The Fed akan membeli obligasi korporasi di pasar sekunder lebih banyak.
Kemudian, juga terpengaruh kondisi pemulihan ekonomi China setelah pandemi virus corona. Saat ini, setidaknya aktivitas industri Negeri Tirai Bambu naik 4,4 persen pada Mei 2020 bila dibandingkan Mei 2019.
"Data tersebut menunjukkan bahwa ekonomi China terus keluar dari pelemahan yang disebabkan oleh pandemi virus corona, didukung oleh stimulus kebijakan berkelanjutan yang mendorong pertumbuhan kredit," pungkasnya.