ANALISIS

Dilema Jokowi, Antara Resesi Ekonomi dan Nyawa karena Corona

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Sabtu, 11 Jul 2020 08:20 WIB
Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke Jateng, Selasa (30/6)
Presiden Jokowi dihadapkan pada pilihan sulit oleh virus corona. Di satu sisi ia dihadapkan pada ancaman resesi ekonomi, di sisi lain nyawa manusia. (Laily Rachev - Biro Setpres).
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya 'galau'. Pasalnya, di tengah penyebaran virus corona, dia dihadapkan pada dua masalah yang sulit.

Pertama, berkaitan dengan ancaman resesi ekonomi. Pemerintah sendiri telah memprediksi corona akan membuat pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 minus hingga 3,8 persen.

Bila ramalan terbukti, potensi Indonesia masuk ke jurang resesi bisa makin besar. Apalagi kalau pertumbuhan minus itu berlanjut ke kuartal III 2020.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua, peningkatan kasus positif corona. Di tengah ancaman resesi tersebut, kasus infeksi dan korban virus corona semakin berjatuhan.

Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, jumlah kasus infeksi virus corona di dalam negeri per Jumat (10/7) sudah tembus 72.347.

Total kematian yang diakibatkan infeksi tersebut mencapai 3.469 kasus. Jokowi mengatakan kedua masalah tersebut perlu dikendalikan seiring sejalan.

Tidak bisa katanya, urusan kesehatan diutamakan sementara itu ekonomi dilupakan, begitu pula sebaliknya.

[Gambas:Video CNN]

"Dua-duanya tidak bisa dilepas satu dengan yang lain, kalau ekonomi tidak jalan, kesejahteraan masyarakat menurun, imunitas turun, penyakit gampang masuk. Makanya gas dan rem betul-betul dikendalikan," katanya Kamis (9/7).

Namun untuk menyeimbangkan keinginan tersebut bukan pekerjaan mudah. Berkaitan dengan pembukaan sektor di bidang ekonomi misalnya, pemerintah perlu berhati-hati. 

Supaya penyebaran virus corona tidak semakin menjadi, sektor yang dibuka adalah yang berisiko rendah. Kalau tak hati-hati, tren penularan virus corona akan terus meningkat.

Terlebih, penambahan kasus penularan virus corona menyentuh rekor baru pada Kamis (9/7) kemarin. Jumlah penambahannya mencapai 2.657 kasus.

"Tidak semua langsung dibuka, Tidak bisa. Dipilih sektor-sektor yang memiliki risiko rendah. Buka dulu yang risiko sedang, lalu yang risiko tinggi," terang Jokowi.

Nah, berkaitan menyelesaikan masalah itu, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyatakan pemerintah harus tegas dalam menentukan prioritas; menyelesaikan corona dulu atau membenahi ekonomi. Menurutnya, pemerintah tidak bisa menyelamatkan keduanya secara bersamaan.

Harus ada yang dikorbankan di sini. Dan untuk ini, Tauhid bilang semestinya pemerintah fokus dalam menurunkan kasus virus corona atau masalah kesehatan dulu.

Caranya, kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai wilayah dengan aturan yang tegas dan tidak seperti selama ini yang longgar.

"Lihat negara-negara yang berhasil menurunkan kasus virus corona dan ekonominya sudah kembali jalan. Itu pandemi yang menjadi fokus dulu, pandemi dikerjakan dulu baru ekonomi," ujar Tauhid.

Ia menyatakan upaya pemerintah yang melonggarkan pembatasan di ruang publik seperti sekarang justru akan membawa musibah. Lihat saja, jumlah kasus penularan virus corona belum juga berada dalam tren penurunan.

Lagi pula, dampak pelonggaran pembatasan di ruang publik terhadap ekonomi juga kecil. Industri masih takut beroperasi kembali dan investor juga enggan menanamkan dananya di Indonesia karena penularan virus corona masih tinggi.

"Kalau pemerintah berdamai dengan virus corona, tapi jumlah penularan kasusnya tinggi ya bagaimana industri mau buka kembali. Buka lagi nanti karyawan ada yang tertular. Perusahaan tidak mau ambil risiko apalagi investor. Dia mau investasi di negara yang aman virus corona," jelas Tauhid.

Oleh karena itu, Tauhid menyarankan agar pemerintah tak perlu ragu-ragu jika memang PSBB harus diberlakukan lagi di tengah peningkatan kasus virus corona. Kalau pemerintah 'bandel', maka ketidakpastian akibat pandemi akan berlanjut hingga tahun depan.

"Kegiatan ekonomi tidak apa-apa turun lagi kalau ada PSBB lagi, daripada seperti sekarang jadinya tidak selesai-selesai. Kalau seperti ini terus ekonomi justru akan rendah dan terus memakan korban meninggal karena virus corona," ungkap Tauhid.

Sependapat, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyatakan pemerintah perlu menghitung lagi dampak dari kebijakan new normal yang kini diterapkan. Ia bilang efeknya justru berbahaya karena penularan virus corona semakin menanjak.

"Di mana-mana seperti di Korea Selatan dan Vietnam misalnya, itu utamakan kesehatan dulu baru ekonomi. Kalau mau ada new normal, jumlah kasusnya harus turun dulu," terang Yusuf.

Bila tren penularan virus corona tak kunjung turun, aktivitas ekonomi otomatis tidak jalan. Masyarakat akan memilih membatasi kegiatannya di rumah meski pemerintah tetap menjalankan new normal.

"Kalau pemerintah tetap melakukan new normal, tapi saya rasa masyarakat akan independen. Masyarakat akan membatasi sendiri kegiatannya," ucap Yusuf.

Dengan pembatasan yang dilakukan masyarakat, roda perekonomian akan kembali berhenti. Efeknya, pertumbuhan ekonomi juga tak kunjung membaik.

Yusuf sepakat jika pemerintah harus menyelamatkan kesehatan dan ekonomi secara bersamaan. Hanya saja, pemerintah perlu mengatur lagi prioritasnya.

"Jadi proporsinya saja diatur, fokusnya ke mana. Kesehatan dan ekonomi harus jalan. Tapi atur ulang saja proporsinya. Dengan cara itu masyarakat bisa lebih percaya diri dan angka penularan bisa turun," jelas Yusuf.

Diketahui, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2020 anjlok hingga 2,97 persen. Angkanya jauh melambat ketimbang periode sebelum-sebelumnya yang mencapai 5 persen.

Pemerintah melihat kontraksi ekonomi akan terus terjadi hingga kuartal II 2020. Terburuknya, pemerintah memproyeksi ekonomi domestik minus 0,4 persen tahun ini.

Sementara, penularan kasus virus corona juga terus meningkat. Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona menunjukkan kasusnya bertambah lebih dari 1.000 orang per hari sejak 1 Juli hingga 8 Juli 2020.

Total kasus penularan pada periode tersebut mencapai 11.694 orang. Dengan demikian, rata-rata kasus positif bertambah 1.462 orang per hari.

Angka tambahan kasus positif tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata kasus positif harian sepanjang Juni 2020.

Sementara, jumlah kumulatif kasus virus corona per 9 Juli 2020 mencapai 70.736 orang. Dari jumlah tersebut 32.651 orang sembuh dan 3.417 lainnya meninggal dunia.

(agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER