Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunga BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 2,5 bps ke level 4 persen pada Juli ini. Ini adalah penurunan suku bunga keempat kalinya oleh BI sejak awal 2020 lalu.
Rezim suku bunga murah diterapkan otoritas moneter sebagai upaya membantu pemerintah memulihkan perekonomian yang terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Meski demikian, efektivitas kebijakan tersebut masih diragukan oleh sejumlah ekonom. Pasalnya rendahnya suku bunga tak berbanding lurus dengan meningkatnya pertumbuhan kredit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri misalnya, berpandangan daya dorong kebijakan suku bunga BI untuk menggerakkan investasi di sektor riil akan minim.
Hal tersebut tercermin dari melambatnya pertumbuhan kredit setelah BI rate diturunkan dua kali berturut-turut sebesar 25 bps pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Februari dan Maret 2020.
Berdasarkan catatan BI, kredit perbankan pada Mei 2020 cuma bisa tumbuh 3,09 persen. Posisi tersebut merosot dari Maret dan April yang masing-masing sebesar 7,2 persen dan 5,73 persen.
Menurut Yose, masih banyak kendala yang menghambat pengucuran kredit ke sektor riil. Salah satunya adalah tingginya kewaspadaan bank menjaring debitur baru di tengah ketidakpastian ekonomi.
Padahal rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan pada Mei lalu terbilang cukup tinggi yakni 22,14 persen dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) masih terjaga di kisaran 3,00 persen (bruto) dan 1,17 persen (neto).
"Yang harus dilakukan bukan hanya sekedar menurunkan suku bunga, tapi lebih penting lagi, meski ini pekerjaan OJK, untuk memaksa bank menyalurkan uang yang ada," ucapnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (16/7).
Memang, kata Yose, rendahnya penyaluran kredit juga bisa disebabkan kurangnya minat debitur mengajukan pinjaman baru karena masih minim tingkat permintaan. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ekspansi kredit sangat penting di kondisi saat ini terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Permintaan belum naik, belum pick up, sehingga UMKM belum mau ambil pinjaman walaupun mereka butuh. Tapi kebanyakan UMKM saat ini mengalami permasalahan di working capital," ujar Yose.
Di sisi lain, pemangkasan suku bunga BI juga bisa jadi simalakama dan membuat bank lesu akibat seretnya likuiditas. Industri perbankan harus berupaya ekstra menjaga dana pihak ketiga yang susah payah dihimpun tidak kabur ke instrumen investasi lain karena imbal hasil yang mereka tawarkan mengecil.
Apalagi pemerintah melalui Kementerian Keuangan masih akan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp900,4 triliun sepanjang semester II 2020, di mana Rp30 triliun hingga Rp40 triliun berupa SBN ritel.
Berdasarkan data analisis uang beredar yang dirilis BI, rata-rata suku bunga simpanan berjangka turun pada Mei 2020 dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Suku bunga deposito tenor 1, 3, 6, dan 12 bulan turun dari masing-masing 5,69 persen, 5,92 persen, 6,31 persen dan 7,32 persen per April menjadi 5,64 persen, 5,85 persen, 6,23 persen dan 7,26 persen pada Mei.
Pandangan berbeda disampaikan Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi. Ia menilai langkah yang dilakukan BI cukup tepat. Sebab jika tidak diturunkan, perbankan akan terus menerus menjaring dana pihak ketiga (DPK) ketimbang menyalurkan kredit.
Hal ini pula, menurut Faisal, yang menyebabkan pertumbuhan DPK Mei menggelembung menjadi 8,89 persen ketika penyaluran kredit tumbuh melambat.
Dengan dipangkasnya BI rate ke tingkat yang lebih rendah, perbankan memiliki ruang untuk memangkas suku bunga DPK dan mentransmisikannya menjadi kredit murah makin terbuka lebar.
"Memang sudah dipangkas kemarin, tapi behavior perbankan, selalu terjadi lagi. Mereka menahan net interest margin pada level yang tinggi. Apalagi ketika faktor resiko yang makin besar dan mereka enggan menyalurkan kredit dan mereka makin ingin menyedot dana masyarakat," tuturnya.
Faisal tak mempermasalahkan adanya potensi perpindahan dana perbankan ke instrumen investasi lain. Di samping likuiditas bank yang masih cukup tinggi, ia melihat hal tersebut suku bunga rendah juga sejalan dengan kebijakan BI untuk memperdalam pasar keuangan domestik.
"Saya rasa enggak masalah, kalau kita punya financial deepening, punya instrumen keuangan yang bervariasi, kalau enggak ke perbankan bisa ke instrumen keuangan lain, bisa ke bond saham asalkan dia masih berputar di dalam negeri," terangnya.
Ia justru mengkhawatirkan masih terbatasnya instrumen di pasar keuangan membuat aliran modal asing kabur dari dalam negeri dan menggerus nilai tukar rupiah. "Kalau mereka enggak ke perbankan tapi instrumen keuangan kita masih terbatas, bisa jadi ada capital outflow," tandasnya.
Terkait hal tersebut Gubernur BI Perry Warjiyo memastikan bahwa keputusan menurunkan suku bunga acuan tak akan berdampak signifikan pada pergerakan nilai tukar rupiah.
Ia justru optimistis rupiah masih berpotensi menguat seiring dengan fundamentalnya masih undervalued. Penguatan rupiah juga akan terdorong oleh inflasi yang terkendali, defisit transaksi berjalan yang rendah, imbal hasil aset keuangan domestik yang kompetitif, dan menurunnya premi risiko.
"Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar, BI terus menjaga ketersediaan likuiditas baik di pasar uang maupun pasar valas dan memastikan bekerjanya mekanisme pasar," jelas Perry.
(agt)