Pemerintah akan menggelontorkan bantuan langsung tunai (BLT) kepada pekerja bergaji di bawah Rp5 juta demi membantu mereka dalam menghadapi tekanan ekonomi akibat penyebaran virus corona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan sudah menyiapkan anggaran Rp31 triliun untuk melaksanakan rencana tersebut. Menteri BUMN Erick Thohir membuka BLT akan diberikan ke 13 juta pekerja non PNS dan BUMN yang bergaji di bawah Rp5 juta.
Salah satu syaratnya, mereka terdaftar menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Bantuan digelontorkan demi mendongkrak daya beli pekerja yang tertekan corona.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bantuan tersebut diharapkan bisa menopang kinerja pertumbuhan ekonomi yang minus 5,32 persen pada kuartal II 2020 kemarin sehingga bisa menghindarkan Indonesia dari resesi ekonomi.
Namun, bantuan yang ditargetkan terealisasi pada September 2020 itu dinilai sejumlah kalangan masih nanggung.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, misalnya, menyatakan bantuan tersebut menunjukkan pemerintah masih setengah-setengah dalam menyelamatkan ekonomi dari tekanan corona.
Itu tercermin dari sasaran penerima BLT pekerja yang hanya sebanyak 13,8 juta orang. Ia mengatakan jumlah sasaran tersebut masih jauh dari ideal.
Pasalnya, jumlah tenaga kerja di Indonesia baik formal dan informal mencapai hampir 140 juta jiwa. Artinya, perluasan BLT itu hanya bisa dinikmati segelintir pekerja.
Ia menyebut kebijakan tersebut justru diskriminatif.
"Memang kebijakan jaringan pengaman sosial perlu diperluas, tapi tidak boleh diskiriminatif. Kalau kita mau memperluas, we do it the hard way, misalnya bisa universal basic income seperti di Jepang, tapi jangka waktunya beberapa bulan," ucap Fithra kepada CNNIndonesia.com, Kamis (6/8)
Selain sasaran, Fithra juga menyoroti potensi penyaluran yang tak tepat sasaran lantaran pemerintah tak punya basis data yang memadai untuk menentukan siapa pekerja di bawah Rp5 juta yang berhak mendapatkan bantuan dan siapa yang tidak.
Masalah serupa sebelumnya juga terjadi pada penyaluran BLT kepada warga miskin.
"Akan ada pertentangan di masyarakat ketika ada yang dapat ada yang tidak. Kriterianya juga tidak pasti, yang formal atau informal? Kalau dia pekerja formal, katakanlah, oke, gaji Rp5 juta ke bawah, tapi bagaimana definisinya, di range berapa? UMR tiap daerah saja beda," ujarnya.
Sorotan lain juga ia berikan pada nilai BLT untuk tiap pekerja yang sebesar Rp600 ribu. Meski diberikan selama empat bulan berturut-turut, ia menganggap itu belum ideal.
Fithra menghitung untuk mendorong daya beli masyarakat yang tertekan corona, paling tidak bantuan tambahan yang perlu diberikan bagi pekerja bergaji di bawah Rp5 juta harusnya Rp1 juta rupiah per bulan per orang.
Ia mengakui besaran tersebut berpotensi menimbulkan pembengkakan belanja bantuan sosial untuk program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Namun ia melihat pemerintah masih punya cukup ruang untuk melakukan refocusing anggaran serta menambah pembiayaan lewat mekanisme burden sharing bersama Bank Indonesia.
Berdasarkan perhitungannya, setidaknya dibutuhkan Rp200-300 triliun untuk memperluas BLT kepada pekerja formal dan informal-jika program yang ingin direalisasikan berupa temporary universal basic income.
Meski demikian anggaran tersebut bisa lebih rendah jika sasaran BLT diubah menjadi per kepala keluarga. Perhitungan tersebut sebelumnya juga pernah disampaikan Eks Menteri Keuangan Era SBY Chatib Basri dalam webinar bertajuk Mid-Year Economic Outlook 2020 lalu.
Jika memakai definisi World Bank, ada 115 juta orang di Indonesia yang masuk kategori kelas menengah rentan miskin. Artinya, jika satu keluarga terdiri dari empat orang, ada sekitar 30 juta rumah tangga rentan miskin yang butuh BLT dari pemerintah.
Dengan asumsi tersebut, maka kebutuhan anggaran untuk BLT expiring middle class adalah sekitar Rp30 triliun per bulan. Sementara jika BLT diberikan selama satu tahun penuh, kebutuhan anggarannya akan mencapai Rp360 triliun. "Saya kira balance sheet BI bisa ditambah sampai Rp600 triliun," tutur Faisal.
Segendang Sepenarian, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kebijakan pemerintah memperluas BLT ke pekerja dengan gaji di bawah Rp5 juta tak akan efektif mendorong konsumsi rumah tangga yang anjlok pada kuartal II 2020.
Sebab kontraksi konsumsi rumah tangga disebabkan oleh menurunnya permintaan kelompok kaya. "Proporsi kelompok kaya dalam konsumsi rumah tangga memang hanya 20 persen, tapi kontribusi mereka terhadap total pengeluaran mencapai 45,5 persen," papar Faisal.
Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan kelompok termiskin yang kontribusinya hanya sebesar 17,7 persen terhadap total pengeluaran meski proporsinya dalam konsumsi rumah tangga mencapai 40 persen.
"Sementara kelompok menengah yang proporsinya juga 40 persen, kontribusi atau share-nya terhadap total pengeluaran juga masih di bawah kelompok kaya, yakni cuma 36,8 persen," imbuh Faisal.
Dengan mengacu pada data tersebut menurut Faisal penting bagi pemerintah untuk lebih serius melakukan langkah penanggulangan pandemi Covid-19 di samping merealisasikan program PEN. Soalnya, kelompok kaya punya kecenderungan untuk menahan konsumsinya jika pandemi masih terus berkecamuk.
"Mereka masih punya daya beli, cuma masalahnya kan mereka tidak leluasa spending karena masih ada wabah. Berarti untuk kalangan atas perlu diberikan optimisme untuk mereka berbelanja salah satunya pemerintah harus lebih serius dalam penanggulangan wabah," sebutnya.
Di luar hal-hal tersebut, Faisal berpandangan BLT pekerja yang merepresentasikan kelompok menengah bawah itu juga tak ampuh mengungkit perekonomian karena jumlah penerimanya cuma 13,8 juta orang, atau 25 persen dari total pekerja formal.
"Sebetulnya kategori karyawan sektor formal atau pegawai berdasarkan BPS itu sekitar 51 juta. Jadi yang dikatakan pemerintah 13 juta bergaji di bawah lima juta itu sekitar 25 persen total tenaga kerja," terangnya.
Karena itu, agar kebijakan tersebut lebih optimal dan tepat sasaran, pemerintah juga perlu mengatur penyaluran BLT tersebut untuk pekerja di sektor informal. Misalnya, para pegawai Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta pekerja lepas harian.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan membuka pendaftaran calon penerima BLT dengan syarat dan kriteria tertentu.
"Tidak mungkin dalam waktu singkat pemerintah meng-capture data sektor informal. Makanya kalau bisa, dibuka kanal pengaduan agar membuka eligibility terhadap orang yang boleh dapat stimulus ini. Asalkan dia memenuhi syarat dan bukti," tegas Faisal.
Lihat juga:Total BLT yang Dikantongi Pekerja Rp2,4 Juta |
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu membenarkan bahwa tantangan terbesar perluasan BLT untuk pekerja bergaji di bawah Rp5 juta adalah validitas data.
Karena itu hingga saat ini skema penyaluran dan hal teknis lain terkait BLT tersebut masih dibahas oleh Satuan Tugas (Satgas) PEN. "Yang sedang kami pikirkan bagaimana caranya seefisien mungkin, karena memang kami enggak punya data. Datanya itu kami kumpulkan semua dan dipastikan bahwa ini lengkap dan bisa dipertanggungjawabkan," ujar Febrio.
(agt)