Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRR) di posisi 4 persen pada Agustus 2020. Begitu pula dengan tingkat suku bunga deposit facility dan bunga lending facility masing-masing tetap di 3,25 persen dan 4,75 persen.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 18-19 Agustus 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7DRR sebesar di posisi 4 persen," ucap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Rabu (19/8).
Perry mengatakan keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi global di tengah pandemi virus corona atau covid-19. Salah satunya yang terjadi di China, meski pertumbuhan ekonomi di beberapa negara mengalami kontraksi tajam akibat pembatasan mobilisasi pada kuartal II 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi ini menahan aliran modal ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Perekonomian global di paruh kedua tahun ini diperkirakan akan membaik, meski belum mencapai sebelum pandemi corona.
"Indikator ini mengindikasikan arah pemulihan ekonomi global, perbaikan PMI manufaktur di Amerik, Eropa, dan China," ujarnya.
Keputusan RDG BI juga mempertimbangkan kondisi ekonomi di dalam negeri. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terkontraksi 5,32 persen pada kuartal II 2020.
BI melihat ada perbaikan ekonomi domestik pada akhir Juni lalu, meski ekonomi terkontraksi cukup dalam. Hal ini tercermin dari peningkatan ekspor untuk beberapa komoditas dari China.
"Pertumbuhan ekonomi domestik diperkirakan akan membaik didorong kenaikan permintaan sejalan dengan relaksasi PSBB, realisasi APBN, restrukturisasi kredit, dunia usaha, dan sarana digital," ungkapnya.
Kedua, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang mencatatkan surplus senilai US$9,2 miliar pada kuartal II 2020. Kemudian, Defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit/CAD) sebesar US$2,9 miliar atau 1,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir Juni 2020.
Penurunan CAD terutama dipengaruhi turunnya permintaan impor sejalan dengan rendahnya permintaan domestik dan transaksi modal serta finansial. Selain itu, ada keyakinan investor terhadap prospek ekonomi nasional ke depan.
"Investasi portofolio net inflow US$125 miliar meskipun ketidakpastian pasar keuangan global masih relatif tinggi," tuturnya.
BI memperkirakan defisit transaksi berjalan akan berada di bawah 1,5 persen dari PDB. Ketiga, cadangan devisa Indonesia sebesar US$135,1 miliar pada Juli 2020.
Ketersediaan devisa masih cukup untuk kebutuhan pembiayaan sekitar 9 bulan impor atau 8,6 bulan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Posisi itu masih mencukupi standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Keempat, nilai tukar rupiah yang terdepresi 2,36 persen secara point-to-point (p-to-p) atau 2,29 persen secara rerata pada Juli 2020. Hal ini disebabkan kekhawatiran pada perkembangan ekonomi global dan peningkatan kasus corona.
"Rupiah pada Agustus mendapat tekanan, depresiasi 1,6 persen (p-to-p) atau 1,04 persen secara rerata. Dari akhir tahun, rupiah terdepresiasi 6,48 persen," katanya.
Namun, BI memandang rupiah masih berpotensi menguat pada akhir tahun. Hal ini terlihat dari rupiah yang masih undervalue, prospek ekonomi yang akan membaik, dan lainnya.
Bank sentral nasional juga akan terus memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dengan mekanisme triple intervention di spot, SBN, dan pasar sekunder. Khususnya pada saat pasar mendapat tekanan.
Kelima, inflasi tahun berjalan sebesar 0,98 persen dan inflasi tahunan 1,54 persen pada Juli 2020. Sementara secara bulanan, Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami deflasi 0,1 persen pada bulan lalu.
Rendahnya inflasi dipengaruhi masih lemahnya permintaan domestik akibat tekanan pandemi virus corona. BI memperkirakan target inflasi sebesar 3 persen plus minus 1 persen akan tercapai tahun ini.
Keenam, kondisi berbagai indikator perbankan. Tercatat, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) bank sebesar 22,5 persen pada Juni 2020 dan Alat Liquid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 26,24 persen pada bulan yang sama.
"Kondisi likuiditas lebih dari cukup dan transmisi penurunan suku bunga berlanjut. BI sudah tambah likuiditas atau quantitative easing sebesar Rp651,54 triliun dari GWM Rp155 triliun dan ekspansi moneter Rp480,7 triliun," terangnya.
Sementara rata-rata suku bunga deposito dan kredit modal kerja turun dari masing-masing 5,74 persen dan 9,48 persen pada Juni 2020 menjadi 5,63 persen dan 9,47 persen pada Juni 2020. Sedagkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) sebesar 3,11 persen (gross) atau 1,16 persen (net).
Kemudian, pertumbuhan kredit bank turun menjadi 1,49 perse. Sementara pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) turun menjadi 7,95 persen pada Juni 2020.
"Penyaluran kredit dari sektor keuangan masih rendah sejalan dengan kinerja dunia usaha dan korporasi yang masih mengalami tekanan serta kehati-hatian perbankan," jelasnya.
Ke depan, BI memastikan akan terus menempuh koordinasi dengan otoritas terkait, sehingga bisa tetap menjaga stabilitas keuangan dan mendorong fungsi intermediasi perbankan.
(uli/agt)