Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kembali minus 3,49 persen persen pada kuartal III 2020. Kinerja tersebut anjlok dari periode yang sama tahun lalu, yakni 5,02 persen.
Bila dirinci, kinerja itu tak lepas dari turunnya laju komponen pengeluaran Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Kepala BPS Suhariyanto mengatakan kontraksi pada komponen pengeluaran PDB itu tidak sedalam kuartal II 2020 lalu.
"Dari seluruh komponen yang ada, masih mengalami kontraksi tapi tidak sedalam kontraksi kuartal II 2020. Satu-satunya komponen yang mengalami pertumbuhan positif dan tinggi adalah konsumsi pemerintah," ujarnya dalam paparan Pertumbuhan Ekonomi Kuartal III 2020, Kamis (5/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi konsumsi rumah tangga, pertumbuhannya tercatat minus 4,04 persen, padahal pada periode yang sama tahun lalu konsumsi rumah tangga masih tumbuh positif 5,01 persen.
Namun, kontraksi konsumsi rumah tangga membaik dibandingkan kuartal II 2020 yakni minus 5,52 persen.
"Konsumsi rumah tangga pada kuartal III 2020 ini merupakan sumber kontraksi terdalam. Ini bisa disadari karena bobotnya kepada PDB paling besar sekitar 57 persen, sementara masih mengalami kontraksi," jelasnya.
Kondisi itu tercermin dari konsumsi makanan dan minuman selain restoran minus 0,69 persen, konsumsi pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya minus 4,27 persen, dan transportasi serta komunikasi minus 11,56 persen.
Selanjutnya restoran dan hotel minus 10,90 persen, dan konsumsi rumah tangga lainnya minus 2,04 persen. Komponen konsumsi rumah tangga yang mampu tumbuh positif hanya perumahan dan perlengkapan rumah tangga sebesar 1,82 persen serta komponen kesehatan dan pendidikan sebesar 2,06 persen.
Kemudian, laju investasi yang tercermin dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga minus 6,48 persen. Tetapi, kontraksi itu lebih baik dari kinerja PMTB kuartal II 2020 yakni 8,61 persen.
Berikutnya, ekspor Indonesia minus 10,82 persen, membaik dari kontraksi 11,68 persen dari kuartal sebelumnya. Tetapi, kinerja ekspor ini memburuk dari periode kuartal III 2019 yang mampu tumbuh tipis 0,10 persen.
Kemudian, konsumsi Lembaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (LNPRT) turun 2,12 persen. Capaian LNPRT itu membaik dari kuartal II 2020 yakni minus 7,75 persen.
Namun, angka LNPRT itu lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mampu tumbuh posisi 7,41 persen.
Lihat juga:Memahami Beda Resesi dan Krisis Ekonomi |
Sebagai catatan, konsumsi LNPRT merupakan konsumsi institusi yang melakukan kegiatan produksi, konsumsi dan akumulasi aset. Dalam perekonomian tiga bulan pertama tahun ini, konsumsi LNPRT hanya menopang 1,28 persen.
Lalu, pertumbuhan impor mengurangi PDB sebesar 21,86 persen. Angka itu lebih dalam dari kuartal II 2020 sebesar 16,98 persen.
Sementara itu, satu-satunya komponen pengeluaran PDB yang tumbuh positif adalah konsumsi pemerintah sebesar 9,76 persen. Angka ini membaik dari kuartal II 2020 yang mengalami minus 6,90 persen dan kuartal III 2019 yang hanya tumbuh tipis 0,98 persen.
Suhariyanto mengatakan lonjakan konsumsi pemerintah tidak lepas dari upaya pemberian stimulus untuk penanganan pandemi covid-19.
"Konsumsi pemerintah terjadi kenaikan didorong oleh realisasi belanja bantuan sosial, belanja barang dan jasa APBN yang jauh lebih tinggi dari posisi kuartal II 2020 maupun kuartal III 2019," jelasnya.
Kontraksi pertumbuhan ekonomi pada Juli-September ini mengantarkan Indonesia pada resesi ekonomi setelah sebelumnya juga minus 5,32 persen pada kuartal II 2020.
Sebuah negara dinyatakan mengalami resesi ekonomi jika mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi selama dua kuartal berturut-turut.