Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Sarman Simanjorang menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Minuman Beralkohol akan berdampak pada maraknya peredaran minuman alkohol oplosan. Sebab, RUU ini bertujuan melarang produksi hingga konsumsi minol.
"Jika nantinya dalam RUU ini kesannya melarang, maka dikhawatirkan akan terjadi praktik masuknya minol selundupan yang tidak membayar pajak, maraknya minol palsu yang tidak sesuai standar pangan, termasuk maraknya minol oplosan yang membahayakan konsumen," ujar Sarman dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (15/11).
Hal ini justru berpotensi merugikan semua pihak, mulai dari pengusaha, pekerja, hingga pemerintah, mengingat kontribusi ekonomi yang diberikan industri minol.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sisi penghasilan misalnya, usaha minol setidaknya mampu menyisihkan kontribusi pembayaran pajak mencapai Rp6 triliun kepada negara.
Sementara, dari sisi ketenagakerjaan, usaha minol mampu menyerap sedikitnya 5.000 pekerja.
Dampak lain, kehadiran industri minol diklaim turut menggerakkan sektor lain, mulai dari industri pertanian, logistik, industri kemasan, distribusi, dan jasa perdagangan, jasa hiburan, rekreasi, pariwisata, hingga budaya.
"Keterlibatan industri minol dalam perekonomian nasional sudah cukup lama hampir mencapai satu abad dan disana ada investor luar," kata Sarman yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT Delta Djakarta, salah satu perusahaan bir yang sahamnya sebagian dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Di sisi lain, Sarman menilai peredaran minol saat ini sudah berlangsung dengan tata niaga yang cukup baik karena diatur dalam berbagai aturan. Misalnya, ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol.
Selanjutnya, ada juga Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
"Penjualan minol sudah lebih tertata, hanya di tempat tertentu. Dengan demikian, sebenarnya urgensi RUU ini tidak mendesak, namun semuanya kembali kepada DPR," katanya.
Lebih lanjut, bila badan legislatif ingin tetap menerapkan aturan baru soal peredaran minol, ia berharap implementasinya tidak dilakukan dalam waktu dekat. Sebab, industri minol sejatinya tengah tertekan akibat resesi ekonomi yang muncul dari pandemi virus corona atau covid-19.
Tekanan itu utamanya muncul karena pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan tempat usaha peredaran minol diharuskan tutup.
"Di Jakarta sudah delapan bulan tutup yang membuat penjualan anjlok sampai 60 persen, tapi sejauh ini industri minol masih mampu bertahan dan tidak melakukan PHK," tuturnya.
Sarman meminta agar implementasi RUU bisa dilakukan usai pemulihan ekonomi ketika kondisi perekonomian sudah kembali normal seperti sebelum pandemi. Sebab, dunia usaha justru membutuhkan dukungan berupa insentif saat ini, bukan sebaliknya berupa pelarangan yang bisa semakin menggerus usaha.
"Di tengah tekanan resesi ekonomi saat ini kurang tepat membahas yang berkaitan dengan kelangsungan dunia usaha khususnya industri minol," ungkapnya.
Ia juga meminta bila RUU ini jadi diterapkan, arahnya bukan larangan, namun pengawasan dan pengendalian yang bertujuan untuk mengedukasi.