Para pengusaha merespons wacana larangan produksi hingga konsumsi minuman beralkohol yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejauh ini, dunia usaha masih menanti kepastian dari rencana ini.
Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) mengaku belum bisa memberi pandangan lebih lanjut terkait wacana ini. Sebab, belum ada kejelasan terkait kepastian poin aturan hingga waktu pelaksanaan larangan.
"Perihal RUU Minol, kami baru sejauh mengikuti perkembangan yang diberitakan oleh media. Kami masih terus memantau perkembangannya," ucap Executive Committee GIMMI Ika Noviera kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada, Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Indonesia (APIDMI) juga belum bisa merespons lebih lanjut karena baru mendengar wacana itu, meski rencana ini bukan barang baru. Sebab, kebijakan ini pernah dilempar ke publik pada 2015-2016 lalu.
"Pas 2016 juga pernah ada rencana ini, tapi kemudian belum diterapkan, saat itu juga rencananya pelarangan," ujar Sekretaris Jenderal APIDMI Ipung Nimpuno.
Ipung berharap badan legislatif dan pemerintah mau mendengarkan masukan dari para pelaku usaha saat aturan itu dibahas lebih lanjut. Tujuannya, agar tercipta aturan yang win-win solution atau menguntungkan banyak pihak secara bersamaan.
"Mestinya kalau nanti ada RDP (rapat dengar pendapat), kami dimintai masukan seperti 2016. Biasanya sebelum DPR setuju atau tidak kan ada rapat dengan stakeholder, kami-kami ini," tuturnya.
Hanya saja, Ipung memberi sinyal bahwa kebijakan ini tentu akan berdampak bagi industri minuman beralkohol yang saat ini pun sedang terpukul. Ia mengatakan penjualan minuman beralkohol khususnya yang berasal dari impor sudah turun 80 persen sepanjang tahun ini.
Penyebabnya ada dua. Pertama, menurunnya permintaan di tengah pandemi virus corona atau covid-19. Kedua, izin impor yang molor dari Kementerian Perdagangan.
Lihat juga:Jouska Bakal Digugat Kembalikan Uang Korban |
Ipung bilang permintaan impor sejatinya sudah diajukan pengusaha sejak akhir tahun lalu sesuai aturan berlaku. Seharusnya, sambung Ipung, minuman beralkohol impor itu masuk mulai Januari 2020.
"Tapi baru keluar izinnya Juli, impornya butuh 2-3 bulan, jadi baru masuk Oktober, ini penjualan jadi turun, tidak ada stok," katanya.
Untuk itu, ia berharap pemerintah dan DPR turut melihat kembali kondisi industri minuman beralkohol saat ini.
Sebelumnya, wacana larangan produksi, penyimpanan, peredaran, dan konsumsi minuman beralkohol diusulkan oleh DPR. Badan legislatif sudah menyiapkan Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol (RUU Minol).
Dalam beleid itu, akan ada pelarangan untuk beberapa jenis minuman beralkohol, yaitu yang berkadar etanol 1-5 persen, 5-20 persen, dan 20-55 persen. Larangan juga berlaku untuk minuman beralkohol tradisional dan campuran atau racikan.
Nantinya, minuman beralkohol hanya boleh untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan. Pihak yang melanggar ketentuan bakal dikenakan sanksi hukum pidana berupa penjara tiga bulan sampai 10 tahun dan denda mulai dari Rp20 juta hingga Rp1 miliar.
Anggota DPR dari Fraksi PPP Illiza Sa'aduddin Djamal, salah satu pihak yang mengusulkan RPP ini mengatakan aturan sengaja dibuat sebagai amanat dari UUD 1945 dan ajaran agama.
"RUU bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minol," ucap Illiza.
Kendati begitu, belum jelas seperti apa hasil dari usulan RPP ini. Selain itu, belum ada pula target waktu kapan sekiranya aturan ini akan diterapkan.