Studi Tax Justice Network (TJN), organisasi independen yang berbasis di London, Inggris, mencatat aksi penghindaran pajak telah merugikan dunia sekitar US$427 miliar per tahun atau sekitar Rp6.046 triliun (asumsi kurs Rp14.160 per dolar AS). Penghindaran itu dilakukan dengan cara melarikan uang ke negara surga pajak.
Dalam sebuah pernyataan, TJN mengatakan mereka telah menyaring catatan di seluruh dunia dan mendesak tindakan global atas suaka pajak bayangan yang telah mengalihkan miliaran dolar dari negara-negara yang saat ini memerangi pandemi covid-19.
Dalam hal ini, TJN memeriksa deklarasi pajak dan angka-angka multinasional yang dikumpulkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang berbasis di Paris sejak 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka juga melakukan penilaian terhadap data individu 2018 dari Bank for International Settlements. "Negara-negara kehilangan lebih dari US$427 miliar pajak setiap tahun akibat penyalahgunaan pajak perusahaan internasional dan penghindaran pajak swasta," terang TJN dalam studinya, seperti dikutip dari AFP, Jumat (20/11).
Jumlah ini, menurut TJN setara dengan hampir 34 juta gaji tahunan perawat per tahun, katanya.
TJN juga memperkirakan bahwa jumlah total penghindaran pajak terdiri dari US$245 miliar yang dilakukan oleh bisnis dan US$182 miliar dilakukan oleh individu.
Menurut studi tersebut, perusahaan multinasional mengalihkan sekitar US$1,38 triliun keuntungan melalui surga pajak, sementara individu swasta menginvestasikan lebih dari US$10 triliun dalam aset di sana.
Dalan catatan TJN wilayah terkaya di dunia termasuk Eropa dan Amerika Utara mengalami pukulan finansial terbesar dari penghindaran pajak. Studi tersebut menyebut wilayah luar Inggris Kepulauan Cayman sebagai surga pajak yang bertanggung jawab atas kerugian pajak global terbesar.
Tempat bebas pajak terkemuka lainnya termasuk wilayah luar negeri Inggris seperti Belanda, Luksemburg, negara bagian AS dengan pajak rendah seperti Delaware, dan Hong Kong.
"Di bawah tekanan dari perusahaan raksasa dan kekuatan surga pajak seperti Belanda dan jaringan Inggris, pemerintah kami telah memprogram sistem pajak global untuk memprioritaskan keinginan perusahaan dan individu terkaya di atas kebutuhan orang lain," kata kepala eksekutif TJN Alex Cobham .
Menurut Cobham, pandemi telah mengekspos biaya besar untuk mengubah kebijakan pajak menjadi alat untuk memanjakan para pelanggar pajak alih-alih melindungi kesejahteraan masyarakat.
"Sekarang, lebih dari sebelumnya kita harus memprogram ulang sistem pajak global kita untuk memprioritaskan kesehatan dan mata pencaharian masyarakat di atas keinginan mereka yang bertekad untuk tidak membayar pajak," tandasnya.
Lihat juga:Sri Mulyani Pesimis Target Pajak Tercapai |