Dolar AS diprediksi menjadi mata uang 'pecundang' di tahun depan. Hingga kini dolar AS telah melemah hampir 12 persen terhadap beberapa mata uang utama sejak Maret 2020 atau ketika pandemi covid-19 dirasakan negara-negara di dunia.
Pekan lalu, dolar kembali mencapai level terendahnya sejak April 2018. Terakhir kali mata uang yang sering disebut greenback ini melemah, yakni pada 2017 lalu.
Kemerosotan dapat dijelaskan oleh beberapa faktor. Salah satunya keyakinan pada pemulihan global.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika AS dan ekonomi global berkinerja kuat, dolar yang dianggap mata uang safe haven cenderung melemah.
Saat ini, meskipun kasus covid-19 meningkat di banyak bagian dunia, investor menaruh kepercayaan mereka pada kedatangan vaksin aman dan efektif dalam waktu dekat, yang diprediksi menciptakan ledakan aktivitas pertengahan 2021 mendatang.
Sementara, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) mengungkapkan akan mempertahankan suku bunga rendah dan terus mencetak uang selama diperlukan untuk merangsang ekonomi AS.
Hal itu menumbuhkan keyakinan masyarakat pada pemulihan ekonomi dan memenuhi apa yang disebut ekspektasi "refleksi".
Di sisi lain, kondisi ini juga membawa investor ke tempat lain untuk mencari imbal hasil, mencapai permintaan dolar pada saat pasokan tinggi.
Tantangannya, di Era Biden nanti,kepala investasi UBS Global Wealth ManagementMark Haefele menilaiperang dagang dengan China akan mempengaruhi pergerakan dolar.
Hal tersebut lantaran hukuman atas ekspor dari negara-negara, seperti China telah meningkatkan ketegangan geopolitik, dan membuat investor melarikan uangnya ke investasi yang lebih aman.
Karena itu, dalam perselisihan dengan negara-negara, seperti China, Presiden terpilih Joe Biden diharapkan lebih mengandalkan alat lain.
Namun, dolar yang terdepresiasi tidak selalu berarti buruk. Faktanya, kataNed Rumpeltin, kepala strategi mata uang Eropa di TD Securities, inibisa menjadi keuntungan bagi pemulihan ekonomi.
Ketika dolar melemah, maka permintaan ekspor AS akan meningkat. Ini juga meringankan kondisi keuangan, membantu pasar negara berkembang yang memegang utang dalam mata uang dolar.
Belum lagi, meningkatkan permintaan komoditas, karena produk seperti minyak mentah relatif lebih murah untuk pembeli asing.
Meski demikian, efek lainnya yang tak boleh dilupakan adalah terkereknya mata uang lain, seperti euro. Ini adalah sesuatu yang perlu dipantau oleh bank sentral sebagai potensi sumber ketidakstabilan.
Dengan euro naik sekitar 10 persen terhadap dolar AS sejak awal April, pertanyaan mencuat adalah tentang apakah bank sentral Eropa akan mencoba melakukan intervensi.
Deutsche Bank memperkirakan euro akan naik dari US$1,21menjadi US$1,30pada akhir 2021. Tetapi George Saravelos, seorang analis Deutsche Bank, baru-baru ini mengatakan kepada klien bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan ECB.
"Ini adalah langkah pelemahan dolar berbasis luas yang didorong oleh penetapan harga ulang global," kata Saravelos dalam catatan penelitian.