Nurjanah (64), pedagang tahu tempe di Pasar Lembang, Ciledug, cuma bisa mengelus dada tatkala pembeli yang mampir ke kios mungilnya mengeluhkan kenaikan harga tahu tempe. Ia mengaku pasrah, meski kupingnya ikut panas mendengar 'jeritan' pembeli.
"Iya, naik seribu (Rp1.000) per balok berukuran 20 cm," jawabnya sabar dari balik masker putih yang dikenakan Nurjanah menjawab CNNIndonesia.com, Selasa (5/1).
Biasanya, ia menjual setiap balok tempe seharga Rp5.000. Tapi, karena kelangkaan tempe belakangan ini, imbasnya ia mengerek harga jual menjadi Rp6.000 per balok.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alih-alih langka, pasokan tempe bahkan sempat benar-benar nihil sejak tahun baru di saat petani kedelai menggelar aksi mogok, imbas kenaikan harga kedelai impor.
"Sempat nggak jualan beberapa hari. Libur karena tidak ada pasokan tahu tempe, stok nihil," keluh Nurjanah.
Karenanya, lapaknya yang baru dibuka hari ini langsung diserbu pembeli. Bahkan, ia bercerita belasan balok tempe terjual dalam waktu kurang dari 10 menit. Ia menduga banyak pembeli merindukan santapan tempe di meja makan mereka.
Tak jauh dari tempat Nurjanah berjualan, Yuyun (49), seorang pembeli tengah asyik berbelanja untuk lauksarapan paginya.
Tangan Yuyun yang tadinya sibuk memilah tahu goreng sontak terhenti ketika ia mendengar harga tahu naik Rp1.000 untuk setiap 4 buah. "Loh kok Rp5.000? Biasanya kan segini Rp4.000," protesnya.
Dahi Yuyun berkerut karena si penjual enggan menurunkan harga tahu seperti yang ditawarnya, apalagi ia mengklaim sudah menjadi pelanggan tetap.
Pun demikian, Yuyun mengalah. Dengan berat hati, ia merogoh kocek lebih dalam "Memberatkan pasti," ujarnya sambil melenggang menuju perburuan selanjutnya.
Cerita berbeda datang dari Asep (23), pedagang gorengan yang mangkal di mini market sekitar Parung, Tangerang. Ia mengaku tidak menaikkan harga jual gorengannya, termasuk tahu tempel ke pembeli.
![]() |
Asep merinci gorengan tahu, tempe, molen, bakwan, cireng, dan singkong tetap dibanderol Rp1.000 per potong, meskipun bahan baku beberapa gorengan naik.
Bahkan, kenaikannya mencapai lebih dari 30 persen. Ia mencontohkan tempe balok ukuran 25 cm yang biasanya dibeli seharga Rp7.000, kini menjadi Rp10 ribu.
Namun, ia pun tak berdaya menaikkan harga jual gorengan, karena khawatir tidak ada pembeli yang mampir ke lapaknya. "Kalau dinaikin, nanti nggak ada yang mau beli gorengan," tuturnya resah.
Kekhawatiran Asep ialah bila harga tahu tempe tidak kunjung turun. Berarti, untung yang dikantonginya bisa lebih tipis dari biasanya, karena terpaksa menutup modal yang lebih mahal.
Ketua Bidang Organisasi DPP IKAPPI Muhammad Ainun Najib sempar berujar bahwa tahu dan tempe memang menghilang di pasar tradisional karena perajin menyetop produksi mereka.
Hal itu dikarenakan perajin kewalahan membeli kedelai sebagai bahan baku tahu tempe lantaran harganya 'selangit'.
"Memasuki 2021, kita dikejutkan oleh beberapa bahan pangan yang mencuri perhatian. Salah satunya, kedelai atau tahu tempe yang sempat hilang dari peredaran beberapa hari lalu," imbuh dia.
Padahal, menurut Muhammad, harga kedelai seharusnya tidak setinggi itu karena stok di dalam negeri masih cukup banyak. Mengutip data dari Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto, stok kedelai di dalam negeri tembus 450 ribu ton.
Jumlah itu seharusnya masih cukup untuk memenuhi kebutuhan kedelai dengan harga normal bagi perajin tahu dan tempe. Kenyataannya, harga kedelai justru semakin mahal dari importir.
"Importir memberlakukan harga ke perajin sama seperti harga kenaikan kedelai yang terjadi saat ini, sehingga stok itu dijual dengan harga yang sekarang," jelas Muhammad.
Hal ini yang kemudian membuat perajin tahu dan tempe menjerit dan memilih menekan rem produksi, sehingga kelangkaan tahu dan tempe terjadi di tingkat konsumen.
Menurutnya, kondisi ini terjadi karena pemerintah minim pengawasan di lapangan, khususnya terkait stok dan distribusi kedelai dari importir.