Ekonomi China tumbuh 2,3 persen sepanjang 2020. Angka itu melambat dari posisi 2019 yang tumbuh mencapai 6 persen.
Mengutip AFP, Senin (18/1), kinerja pertumbuhan ekonomi China pada 2020 itu merupakan yang paling lambat dalam empat dekade terakhir. Perlambatan ini disebabkan oleh pandemi covid-19.
Wabah itu telah membuat ekonomi dunia bergejolak. Covid-19 pertama kali muncul di China pada akhir 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski tumbuh melambat, tetapi China menjadi negara yang pertama bangkit setelah memberlakukan lockdown ketat demi meminimalisir penularan covid-19. Selain itu, realisasi ekonomi China juga lebih baik dari perkiraan jajak pendapat AFP yang diperkirakan hanya tumbuh 2 persen.
Sementara, Komisaris NBS Ning Jizhe menilai pondasi pemulihan ekonomi China belum kokoh. Pasalnya, masih ada ketidakpastian karena pandemi covid-19.
"Ada banyak ketidakpastian dalam dinamika pandemi serta lingkungan eksternal," kata Jizhe.
Berdasarkan data pemerintah China, produksi industri tumbuh 2,8 persen sepanjang 2020. Pertumbuhannya melambat dari realisasi tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu, penjualan ritel turun 3,9 persen selama 2020. Hal ini terjadi karena masyarakat menekan pengeluarannya di masa pandemi covid-19.
Realisasi tersebut menjadi penurunan penjualan ritel pertama sejak 1968. Ini menggambarkan sulitnya pemerintah mendorong ekonomi dengan konsumsi domestik yang rendah.
Di sisi lain, tingkat pengangguran perkotaan tetap di level 5,2 persen. Kemudian, jumlah pekerja baru meningkat lebih dari 11 juta.
Hanya saja, para ahli memperingatkan jumlah pengangguran bisa lebih tinggi dari data resmi pemerintah. Sebab, banyak masyarakat yang menjadi angkatan kerja informal di China.
"Momentum penguatan bangkitnya ekonomi China selama kuartal IV 2020 mencerminkan peningkatan pengeluaran konsumsi swasta serta ekspor yang meningkat," kata Kepala Ekonom Asia-Pasifik IHS Markit Rajiv Biswas.
Sementara, Ekonom ING Iris Pang berpendapat ekonomi tidak akan pulih cepat hanya karena stimulus fiskal dan kebijakan moneter. Maka itu, ia masih mempertanyakan pemulihan ekonomi China.
Ia menambahkan masih ada risiko perang teknologi antara China dan beberapa negara. Hal ini jika AS tak menghapus beberapa kebijakannya yang menghambat perkembangan teknologi China.
Kemudian Ekonom dari Oxford Louis Kuijs berpendapat pembatasan kegiatan juga akan menghambat pertumbuhan kuartal I 2021. Dengan kata lain, masih ada potensi perlambatan ekonomi China pada awal tahun ini.