Gapki Sebut Referendum Swiss Bukti Ada Kampanye Hitam Sawit

CNN Indonesia
Selasa, 09 Mar 2021 14:53 WIB
Gapki menilai referendum warga Swiss semakin menunjukkan kampanye hitam kelapa sawit dengan motif persaingan usaha bukan tudingan belaka.
Gapki menilai referendum warga Swiss semakin menunjukkan kampanye hitam kelapa sawit dengan motif persaingan usaha bukan tudingan belaka..(ANTARA FOTO/WAHDI SEPTIAWAN).
Jakarta, CNN Indonesia --

Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan kemenangan Indonesia dalam referendum warga Swiss mengukuhkan bahwa kampanye hitam minyak kelapa sawit yang bermotif persaingan dagang bukan tudingan belaka.

Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menilai ada kejanggalan penolakan kelapa sawit dari kelompok tertentu dan hampir membatalkan perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif Indonesia-European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership (IE-CEPA).

Menurutnya, jika kalah dalam referendum, maka IE-CEPA bakal batal dijalankan walau komoditas sawit hanya bagian kecil dari keseluruhan perjanjian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk diketahui, perjanjian IE-CEPA merupakan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan negara-negara EFTA (European Free Trade Association) yang beranggotakan Swiss, Norwegia, Islandia dan Liechtenstein.

"Memang sebenarnya ada yang agak aneh karena yang dipersoalkan sawit padahal sebenarnya kalau dilihat sawit enggak ada apa-apanya dibanding dengan nilai perdagangan Indonesia-Swiss," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (9/3).

Joko menyebut untuk pasar ekspor kelapa sawit ke Swiss sendiri sebetulnya relatif kecil. Ia mencatat pada 2018 ekspor ke Swiss hanya sebanyak 200 ribu ton atau hanya 0,58 persen dari total ekspor sawit Indonesia ke 170 negara yakni 34 juta ton.

Dengan kemenangan ini, ia menilai ada peluang kelapa sawit Indonesia untuk mendapatkan pasar di Eropa. Meski pasar Swiss tidak signifikan, namun ia melihat ada peluang Swiss dapat mendistribusikan kepala sawit Indonesia ke negara Eropa lainnya atau digunakan dalam produk makanan perusahaan raksasa seperti Nestle.

Namun, ia tak dapat memproyeksikan akan berapa besar kontribusi dari pasar Swiss terhadap pertambahan ekspor sawit Indonesia.

"Inti kasus Swiss ini membuktikan kepada publik dan dunia bahwa kampanye negatif terhadap sawit itu ada dan memang karena motifnya adalah persaingan dagang," ujarnya.

Gapki, lanjut Joko, memberikan apresiasi kepada publik Swiss yang mendorong kerja sama kedua negara karena melihat potensi dagang kedua negara jauh lebih besar dari komoditas kelapa sawit.

Untuk kelapa sawit yang diekspor pun merupakan sawit yang bersertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) atau dari perusahaan yang memproduksi kelapa sawit dengan sistem keberlanjutan.

Seperti diketahui, Swiss menghapus bea masuk sawit asal Indonesia setelah menang dalam referendum usai mengantongi 51,6 persen suara. Kesepakatan ini juga bertujuan untuk memfasilitasi penghapusan bea masuk atas ekspor Swiss seperti produk keju, farmasi, dan jam tangan.

Produk sawit asal Indonesia nantinya bisa dijual di pasar Swiss bebas bea cukai. Penurunan tarif juga direncanakan untuk produk pertanian tertentu, khususnya minyak sawit, yang mana Indonesia merupakan penghasil dan pengekspor terbesar di dunia.

Mereka yang mendukung referendum termasuk penentang globalisasi, partai sayap kiri dan beberapa organisasi non-pemerintah (LSM). Argumen mereka menentang kesepakatan perdagangan bebas bea sebagian besar karena faktor lingkungan. Budidaya kelapa sawit, menurut para penentang memicu kerusakan hutan hujan.

Di sisi lain, para pendukung kesepakatan tersebut berpendapat bahwa minyak sawit yang diimpor harus memenuhi standar lingkungan tertentu agar memenuhi syarat untuk pengurangan tarif.

Presiden Swiss Guy Parmelin mengatakan masyarakat Swiss merasa kesepakatan perdagangan itu sudah benar dan seimbang. Dia menambahkan bahwa kekhawatiran lawan akan diperhitungkan, dan Swiss akan mendukung Indonesia dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan.

"Pemungutan suara ini bukanlah pilihan ekonomi atas hak asasi manusia dan lingkungan," katanya seperti mengutip Swiss Info.

Parmelin mengisyaratkan bahwa kesepakatan perdagangan di masa depan juga dapat memasukkan klausul keberlanjutan, tetapi menekankan bahwa setiap kesepakatan itu memiliki keunikan dan tantangannya sendiri-sendiri.

[Gambas:Video CNN]



(wel/age)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER