Pemerintah Masih Bahas Harga Khusus Hilirisasi Batu Bara
Pemerintah berencana memberikan insentif harga khusus untuk hilirisasi batu bara dan skema subsidi bagi produk Dimethyl Ether (DME) yang akan digunakan untuk substitusi liquefied petroleum gas (LPG).
Namun, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan insentif serta skema subsidi tersebut belum rampung dibahas antara pemerintah dan badan usaha.
Hal tersebut ia ketahui saat berkunjung ke Kaltim Prima Coal (KPC) pekan lalu. "Ada lima katakan lah kendala insentif yang belum selesai dari pemerintah maupun badan usaha masih ada ternyata," ucapnya dalam dalam webinar 'DETalk : Mengukur Nilai Keekonomian Hilirisasi Batu Bara', Selasa (9/3).
Menurut Ridwan insentif tersebut sangat erat kaitannya dengan aspek keekonomian proyek DME. Oleh karena itu, meski sulit mencapai kesepakatan, permasalahan tersebut harus diselesaikan karena pemerintah menginginkan adanya kisah sukses dalam peningkatan nilai tambah hilirisasi batu bara.
"Di acara Indonesia DME Association, ada yang tanya kepada pembicara. Berapa harga batu baranya untuk proyek ini? US$0. Waktu di lokasi tambang itu. Tapi kan enggak mungkin. Poin saya adalah aspek keekonomian adalah PR besar yang harus kita selesaikan," imbuhnya.
Selain masalah harga khusus dan skema subsidi masalah lainnya adalah zonasi lahan pertambangan, sertifikasi dan akses jalan. "Paling tidak masih ada lima (hal yang belum rampung)," tutur Ridwan.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Hasto Wibowo mengatakan pemerintah harus segera menetapkan khusus tersebut jika subtitusi LPG dengan DME ingin segera berjalan.
Pasalnya jika harga DME lebih mahal dengan LPG, masyarakat akan sukar beralih menggunakan produk hilirisasi batu bara tersebut.
"Tentu adalah masuk akal kalau DME ini juga mendapat perlakuan yang serupa dengan LPG. Karena kalau di satu pihak LPG dapat subsidi sementara DME tidak, maka kecil kemungkinan untuk bisa mengeksekusi proyek ini," ungkapannya.
Di samping itu, Pertamina juga meminta pemerintah mengurangi impor LPG yang akan digunakan untuk konsumsi rumah tangga. Menurut Hasto, ada 14 miliar MT potensi batu bara Indonesia yang diolah menjadi DME dan dapat digunakan dalam jangka panjang.
Saat ini, fasilitas produksi DME dikembangkan di Sumatera Selatan oleh Air Product di lahan milik PT Bukit Asam Tbk dengan kapasitas 1,4 juta MT per tahun atau 1,07 juta MT setara LPG.
Pertamina juga telah menyiapkan beberapa skema kerja sama dengan Bukit Asam, dan Air Product untuk mengembangkan DME.
Skema pertama, Bukit Asam fokus menghasilkan batu bara kalori rendah dan Pertamina membeli batu bara yang diproduksi tersebut. Pertamina kemudian menyerahkan batu bara tersebut ke Air Product untuk diproses dengan fee tertentu. Produksi DME tersebut nantinya akan didistribusikan menggunakan jalur eksisting milik Pertamina.
"Skema yang lain adalah skema kedua, Pertamina sebagai offtaker murni, di mana Pertamina membeli DME," pungkasnya.