Ekonom Senior Faisal Basri memuji kinerja mantan menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti, khususnya dalam konsep mengedepankan tiga pilar, yaitu kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan nelayan.
Ia menyebut definisi kedaulatan Susi yakni menjaga laut RI agar kapal asing tidak mencuri ikan merupakan kebijakan sederhana yang hasilnya ampuh dalam meningkatkan nilai tukar nelayan.
Berdasarkan data BPS, nilai tukar nelayan dan pembudidaya ikan (NTNP) cenderung naik selama lima tahun kepemimpinan Susi, Oktober 2014 hingga Oktober 2019, yaitu dari 103,61 menjadi 107,38.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dirinci, nilai tukar nelayan perikanan tangkap naik dari 106,66 menjadi 114,28 dan nilai tukar pembudidaya ikan meningkat dari 101,41 menjadi 102,46.
Kenaikan nilai tukar nelayan, jelas Faisal, menunjukkan bahwa nelayan semakin sejahtera.
Tak hanya nilai tukar nelayan saja yang menanjak selama lima tahun Susi menjabat, ia mengatakan sumbangan subsektor perikanan terhadap PDB juga naik secara konsisten. Sayangnya, ia tak merinci pertumbuhan tersebut dalam angka.
"Ini kelihatan semua indikatornya, jadi ga usah pakai teori aneh-aneh. Kelihatan di era lima tahun terakhir kalau subsektor perikanan naik dengan kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan itu," katanya pada diskusi daring Alinea ID, Senin (22/3).
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa selama periode itu tren ekspor perikanan Indonesia pun naik diiringi oleh kenaikan impor.
"Impor juga naik karena kita negara terbuka, kita salmon dan ikan-ikan yang kita butuhkan, enggak ada masalah tapi trade surplus (surplus neraca dagang) naik," katanya.
Dia berharap hal sama bisa terjadi pada sektor pangan yang saat ini beberapa komoditas masih mengandalkan ekspor, seperti daging sapi, gula, bawang merah, dan beras.
Khusus untuk beras, Faisal menilai pemerintah tidak perlu melakukan impor seperti rencana sebesar 1 juta ton karena kebutuhan sebetulnya dapat tercukupi dari panen raya Maret-April.
"Ikan itu surplus terus tapi pangan secara keseluruhan kita defisit terus. Rasanya ironis kalau negara seperti Indonesia yang sangat subur, keberagaman hayatinya luar biasa, (tapi impor)," katanya.