Bank Indonesia (BI) menilai gejolak di pasar keuangan dalam negeri beberapa waktu terakhir yang merupakan dampak dari penyaluran stimulus AS (Amerika Serikat), belum merembet ke sektor riil dalam negeri. Buktinya, kinerja beberapa indikator riil masih cukup baik.
"Sampai saat ini, belum ada rembetan volatilitas di sektor keuangan ke riil. Beberapa data masih menunjukkan hal yang positif sampai Maret 2021," ujar Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di acara diskusi yang digelar Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Selasa (6/4).
Misalnya, mobilitas dan aktivitas masyarakat di luar rumah mulai meningkat lagi. Khususnya di pasar, ritel, farmasi, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Penjualan eceran, ekspektasi usaha, semuanya mengarah ke arah trust (yakin), meski sebagian masih negatif, tapi sudah membaik," ucapnya.
Tidak cuma dari sisi konsumen, produksi pun demikian. Data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia misalnya, sudah mencapai level 53,2 pada Maret 2021.
Posisi PMI ini bahkan yang tertinggi sejak lima bulan terakhir. Hal ini menandakan roda industri sudah mulai bergerak lagi seperti level sebelum pandemi covid-19.
Lebih lanjut, Dody menilai sektor riil belum terpengaruh gejolak pasar keuangan karena ada beberapa sentimen lain yang berhasil menjaga sektor riil. Misalnya, pertambahan kasus harian virus corona yang relatif menurun dari hari ke hari.
Sementara, program vaksinasi terus digulirkan dan bertambah. Data terakhir mencatat masyarakat yang merupakan kelompok prioritas sudah menerima 12,6 juta dosis vaksin covid-19.
"Ini yang jadi keyakinan kita (BI), pemerintah akan capai herd immunity sekitar 70 persen pada Maret 2022. Jadi yang penting confidence-nya, kalau tidak ada confidence untuk belanja dan produksi, ini akan sulit, makanya vaksin diharapkan bisa jadi game changer," tuturnya.
Kendati demikian, Dody mengatakan gejolak di pasar keuangan domestik tetap perlu diwaspadai. Sebab, penyaluran stimulus fiskal AS senilai US$1,9 triliun akan terus dilakukan secara bertahap, sehingga masih mungkin memberikan dampak ke depan.
Apalagi, kondisi pasar keuangan belum pulih. Hal ini terlihat dari nilai tukar rupiah yang masih melemah dan bursa saham yang lesu akibat investor asing 'minggat' ke negeri Paman Sam karena tergoda kenaikan tingkat imbal hasil (yield) surat utang AS, US Tresury.
"Memang, ketika yield meningkat, dolar AS menguat, otomatis diikuti volatilitas di negara-negara lain, termasuk emerging market, yield-nya ikut tergerak dan nilai tukar mata uangnya melemah dan lebih berbahayanya adalah penurunan dari harga saham, ini ada spill over ke kita yang harus diwaspadai," jelasnya.
Di sisi lain, Dody mengatakan bank sentral nasional juga terus berupaya menjaga dan stabilitas pasar keuangan dan memulihkan ekonomi dalam negeri. Hal ini diberikan dengan mengeluarkan kebijakan moneter dan makroprudensial, termasuk mengalirkan likuiditas ke pasar.
Hal ini dilakukan BI dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer maupun sekunder. Secara total, aliran likuiditas untuk pelonggaran (quantitative easing/QE) dari BI sudah mencapai Rp726,6 triliun sepanjang tahun lalu.
Jumlah itu setara 4,69 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Bahkan, suntikan likuiditas dilanjut lagi pada tahun ini dengan jumlah sudah mencapai Rp8,62 triliun per 27 Maret 2021. "Ini (kondisi) sifatnya extra ordinary, jadi kebijakannya pun harus extra ordinary," imbuhnya.
Lihat juga:Kronologi Asuransi AIA Digugat Nasabah |
Dody turut menilai bahwa upaya pemulihan ekonomi Indonesia sejatinya bisa dilakukan oleh banyak pihak, termasuk dari sektor ekonomi syariah. Caranya, pertama, dengan memperkuat koordinasi di sektor keuangan syariah.
"Terutama untuk mendukung pemulihan intermediasi pembiayaan di sektor halal serta sektor prioritas pemerintah lainnya dan mendukung konsolidasi perbankan syariah yang lancar untuk memberikan layanan optimal kepada nasabah dalam bermuamalah," terang dia.
Kedua, dengan memperkuat pendampingan pada pemberdayaan ekonomi syariah yang berlandaskan prinsip kemitraan, baik pada UMKM maupun unit ekonomi pesantren yang terdampak langsung dari pandemi. Ketiga, dengan optimalisasi keberadaan keuangan sosial.
"Seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf, sesuai dengan prinsip penggunaannya, dalam menghadirkan solusi jaring pengaman sosial yang produktif dan mampu memitigasi risiko melebarnya kemiskinan dan ketimpangan," tandasnya.