Layla Saragih, seorang wanita yang mengaku sebagai seorang rakyat jelata dan anak seorang petani di Sumatera Utara, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyetop impor jahe. Pasalnya, harga komoditas rempah itu tengah anjlok di pasaran.
Apabila keran impor dibuka, ia khawatir harga jahe semakin terpuruk.
Permintaan ini diungkapkan Layla dalam cuitan di akun Twitter pribadinya, @layla_saragih pada Senin (5/4). CNNIndonesia sudah minta izin ke yang bersangkutan untuk mengutipnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Layla mengunggah permintaan itu ke publik karena mengaku sudah coba menghubungi Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, tapi tidak mendapat respons.
"Bapak @jokowi ini langkah terakhir yang bisa saya buat. Saya sudah coba DM Menteri Pertanian tapi tidak digubris. Tolong mohon kiranya diperhatikan harga hasil pertanian di Sumut (Sumatera Utara) terutama jahe yang harganya anjlok sekali," ujar Layla seperti dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (6/4).
Layla mengatakan harga jahe di Sumatera Utara kini berada di kisaran Rp3.500 per kilogram (kg). Padahal, di luar provinsi tersebut bisa mencapai Rp15 ribu per kg.
"Dan juga minta tolong impor jahe dihentikan dahulu Pak. Kita prioritaskan produk dalam negeri. Kasihan petani Pak, harga pertanian anjlok, tapi pupuk tinggi-tinggi sekali. Tolong Pak. Tolong sekali. Saya yakin petani tidak harus menjadi Atta dan Aurel agar bisa mendapat perhatian Bapak," cuitnya.
Selain itu, Layla juga meminta agar Jokowi memeratakan distribusi jahe di Indonesia. Ia menduga hal ini turut memberi andil pada perbedaan harga jahe di beberapa daerah.
"Terakhir berikut foto tanaman jahe ibu saya. Dibayangkan aja dulu Pak mengerjakan lahan segitu, seorang diri, sembilan bulan. Modal diutang, sudah panen malah ga laku," katanya.
Sebelumnya, Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian mencatat Indonesia mengimpor 24,4 ribu ton jahe pada 2020-2021. Jumlah tersebut terdiri dari 17.893,6 ton jahe yang diimpor 79 perusahaan sepanjang tahun lalu dan 6.524,2 ton jahe yang diimpor 46 perusahaan di tahun ini.
"Sementara ekspor jahe kita 2020 itu sebanyak 778 ton, dan 2021 ada 60 ton yang kita ekspor sampai saat ini," ujar Kepala Barantan Ali Jamil saat menghadiri rapat dengan komisi IV DPR RI akhir bulan lalu.
Meski demikian, Ali menegaskan tak semua jahe impor tersebut bisa masuk dan didistribusikan ke pasar. Pada 2020, tercatat 398,7 ton jahe mendapatkan penolakan.
Sementara tahun ini, Kementerian Pertanian menolak 345,4 ton. Pasalnya, pada sebagian jahe-jahe tersebut ditemukan tanah serta umbi dan daun.
"Penolakan ini tidak berujung pada pemusnahan semuanya tapi ada juga yang direekspor oleh perusahaan importir," ucapnya.
Direktur Utama PT Mahan Indo Global Jaiprakash Soni mengaku dirugikan karena adanya penolakan tersebut. Ia menuturkan jahe sebanyak 25 ton yang ia impor dari India pada tahun ini terpaksa dimusnahkan karena ditemukan tanah.
"Perusahaan yang dirugikan. Jadi saya rasa yang kena itu kami. Kemarin kami kontrak dengan perusahaan yang memusnahkan, sudah ada kontrak tertulis Rp1.300/Kg. Satu kontainer kurang lebih 26 ton. Setelah ditarik ditimbang lagi," tuturnya.
Jaiprakash mengaku paham bahwa jahe yang boleh diimpor adalah jahe bersih yang tak mengandung tanah. Namun, karena permintaan pasar dalam negeri lebih menyukai jahe yang masih mengandung tanah, ia memutuskan untuk tak mencuci semua jahe yang diimpor ke Indonesia.
"Sebelum itu, kami tahu informasi dari Probolinggo kalau jahe dicuci tidak laku, cepat rusak. Bisa cek juga, kalau sudah cuci dan ditaruh di kulkas berapa hari atau minggu pasti sudah berjamur atau rusak," ungkapnya.
Mahan Indo Global sendiri, jelas Jaiprakash, merupakan eksportir yang mendapatkan jahe dari para pengepul di Probolinggo. Namun, karena permintaan jahe di dalam negeri meningkat pada tahun lalu, perusahaannya tak bisa lagi melakukan ekspor.
"Saya tidak suka impor. Tapi ini mungkin jadi perhatian pemerintah juga. Kami sudah 12 tahun ekspor tapi tahun kemarin tidak ada sama sekali dari petani," tandasnya.