Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah mengaku malu lantaran masih mendapatkan kompensasi pembayaran listrik melalui skema tariff adjustment dari pemerintah. Perasaan itu disampaikan karena menurutnya kompensasi tersebut sama saja dengan subsidi.
Padahal, subsidi itu harusnya diberikan kepada orang miskin.
"Itu subsidi. Cuma namanya saja kompensasi. Kami tidak layak mendapatkan itu semua. Dan kami semua di sini malu lah mendapatkan itu," ujarnya dalam rapat 'Formulasi Subsidi dan Kompensasi yang Tepat Sasaran Bagi Masyarakat Miskin dan Rentan Miskin' di DPR, Rabu (7/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Said, jika kompensasi tersebut dicabut, pemerintah bisa mengalokasikan anggarannya untuk subsidi bagi pelanggan listrik 450 VA dan pelanggan 900 VA yang masuk kategori tak mampu.
"Kompensasi saja Rp27 triliun untuk anggaran 2021 padahal kalau itu dikhususkan ke uang 450 VA kita bisa hemat lagi sekitar Rp27 triliun," imbuhnya.
Said juga menyinggung ketidaktepatan sasaran penyaluran subsidi tarif listrik oleh pemerintah. Ia mencontohkan tahun lalu ada 23,9 juta pelanggan 450 VA yang mendapatkan subsidi listrik.
Padahal berdasarkan Data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS), masyarakat miskin yang berhak mendapatkan manfaat subsidi tersebut hanya 12,6 juta pelanggan. Artinya, ada banyak masyarakat yang seharusnya tidak mendapatkan tapi ikut menikmati.
Lihat juga:Erick Thohir Copot 2 Petinggi Antam |
"Subsidi ke depan harus fixed. Tidak bisa lagi menyesuaikan kalau dia naik, kemudian ikut naik. Tidak fair kalau kita bicara subsidi untuk orang miskin tapi tidak proporsional, karena hanya 26 persen yang menerima," katanya.
Sebagai informasi, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikan tarif listrik (adjustment tarif) sejak 2017 lalu. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengungkapkan itu membuat pemerintah membayar kompensasi triliun rupiah kepada PLN tiap tahunnya.
"Ini kaitannya sama tarif adjustment," katanya.
Ia menambahkan kementerianya memang tengah mempersiapkan perubahan tarif listrik jika pemerintah tak lagi memberikan kompensasi ke PLN dengan adjusment tarif bagi pelanggan non-subsidi.
Saat ini, lanjut Rida pengenaan tarif listrik digolongkan ke dalam 38 kelompok. Dari jumlah itu 25 golongan mendapatkan subsidi dan 13 golongan lainnya non-subsidi.
Sementara jika dirinci, 13 golongan non-subsidi tersebut terdiri dari 41 juta pelanggan yang tarifnya tidak mengalami kenaikan.
Jika pemerintah akan melepas tariff adjustment, tentu ada tambahan biaya yang harus dibayarkan oleh para pelanggan mulai dari Rp18 ribu sampai Rp101 ribu per bulan sesuai dengan kapasitas listrik yang digunakan
Untuk pelanggan kapasitas 900 VA non subsidi, misalnya, tagihan listriknya akan naik dari rata-rata Rp166 ribu per bulan menjadi Rp18 ribu.
Kemudian, pelanggan dengan kapasitas 1.300VA akan mengalami tambahan biaya listrik sekitar Rp10.800 per bulan; kapasitas 2.200VA bertambah Rp 31 ribu per bulan dan kelompok 3.300 VA bisa mencapai Rp101 ribu per bulan.
"Nah seterusnya. Untuk yang paling tinggi itu industri besar itu, bisa sampai Rp 2,9 miliar per bulan," ujarnya.
Meski demikian, Rida mengaku masih belum tahu pasti kapan rencana tariff adjustment ini dilepas.
"Itulah yang kita sampaikan, apakah ini akan sekaligus dinaikkan. Atau cuman beberapa kalangan aja, atau semua disesuaikan sekaligus dan bertahap sudah ada skenarionya untuk kompensasinya," tandasnya.
(hrf/agt)