Dari sisi rencana bisnis, menurut Alvin, pemilihan menjadi maskapai LCC tepat karena daya beli masyarakat cenderung tergerus ketika pandemi, sehingga ada potensi kebutuhan jasa penerbangan dengan harga murah.
"Kebutuhan berpergian akan selalu ada dan selama pandemi, daya beli menurun, sehingga tentunya konsumen akan lebih sensitif terhadap harga, rela mengorbankan kenyamanan, dan pada saat ini, LCC akan lebih atraktif bagi pengguna jasa penerbangan," terangnya.
Kendati demikian, masalah maskapai ini akan laku atau tidak, semua tetap bergantung pada pelayanan yang diberikan nanti. Pasalnya, bagi Alvin, harga murah bukan satu-satunya hal yang dicari penumpang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tentu kita akan lihat rutenya, jadwalnya, juga frekuensi penerbangannya, ini akan menentukan," imbuhnya.
Sementara itu, pengamat penerbangan lainnya, Gerry Soejatman mengaku tidak kaget. Toh, dia pernah membagi rencana ekspansi dari Lion Air Group saat sektor penerbangan tertekan di tengah pandemi.
Menurut Gerry, sebenarnya bisa saja maskapai baru hadir dan sengaja disiapkan untuk menggarap potensi pasar ketika pemulihan ekonomi pascapandemi berlangsung. Pada periode itu, tentu mobilitas akan meningkat dan permintaan terhadap jasa penerbangan ikut terkerek drastis.
"Jadi ya saya tidak kaget kalau ada yang melihat kesempatan untuk ekspansi ketika permintaan mulai pulih jika puncak pandemi sudah lewat," ujar Gerry.
Kendati begitu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai pengusaha tetap perlu hati-hati membaca potensi. Sebab, tekanan terhadap sektor transportasi saat ini cukup dalam akibat pandemi, sehingga risiko akan selalu ada.
"Masih agak berisiko. Walaupun ada yang bosan tapi bukan berarti setelah pandemi jumlah yang pergi langsung naik signifikan, masih ada rasa takut untuk keluar," pungkasnya.