Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pemerintah daerah (pemda) untuk berhati-hati saat indikator tingkat keterisian alias okupansi hotel meningkat akibat libur Lebaran beberapa waktu. Sebab, peningkatan okupansi hotel mungkin bisa memberi dampak positif ke perekonomian, tapi bisa juga memberi sinyal hati-hati pada penyebaran virus corona.
Apalagi, kenaikan okupansi hotel tidak terjadi di satu, dua daerah saja, namun cukup banyak. Misalnya, okupansi hotel di Kepulauan Riau naik dari 10 persen menjadi 80 persen.
Begitu juga dengan hotel di DKI Jakarta, okupansinya melompat dari 36 persen ke 53 persen, Banten naik dari 26 persen ke 43 persen, dan Lampung naik meningkat dari 30 persen ke 45 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keterisian hotel, keterpakaian hotel, kita injak gas, remnya harus pas. Itu baik untuk ekonomi tapi hati-hati untuk covid-nya. Dari sisi ekonomi baik, dari sisi covid-nya harus dikendalikan betul, hati-hati protokol kesehatannya," kata Jokowi saat acara Pengarahan Presiden kepada Kepala Daerah se-Indonesia yang ditayangkan di Youtube Sekretariat Presiden pada Selasa (18/5).
Untuk itu, ia meminta para kepala daerah untuk bisa mengelola dan menanggapi data okupansi hotel ini dengan baik. Ia ingin para kepala daerah bisa memastikan manajemen hotel tetap ketat dan baik dalam mengendalikan penyebaran covid-19.
Fakta dari Jokowi ini turut diamini oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Sebab, data asosiasi juga mencatat ada kenaikan okupansi hotel pada masa libur lebaran kemarin, khususnya di hotel-hotel bintang 3 ke atas.
"Setelah silaturahmi (lebaran) di hari pertama, banyak masyarakat yang staycation (menginap) di hotel pada hari kedua, ketiga lebaran, sampai weekend kemarin. Ada hotel yang okupansi jadi naik sampai 40-70 persen, tapi ini banyaknya hotel bintang 3 ke atas," ujar Wakil Ketua Umum PHRI Maulana Yusran kepada CNNIndonesia.com.
Maulana mengatakan kenaikan tingkat okupansi biasanya dirasakan oleh hotel bintang 3 ke atas karena mereka punya fasilitas yang mumpuni untuk ditawarkan ke masyarakat yang ingin staycation. Umumnya berupa fasilitas kolam renang, area berkumpul, dan lainnya.
Sayangnya, hotel yang tidak punya fasilitas ini, seperti hotel bintang 1 dan 2 justru tidak kebagian 'cuan'. Tingkat okupansi mereka justru melorot jadi cuma sekitar 10 persen.
Begitu pula dengan hotel di daerah yang bukan merupakan kota besar. Fasilitas mereka biasanya juga terbatas, sehingga kurang dilirik untuk staycation.
"Paling kalau ada yang naik okupansi sedikit saja, jadi sekali lagi fasilitas juga menentukan, apalagi saat ada larangan mudik, masyarakat yang menginap jadi lebih sedikit dan hanya cari hotel tertentu saja," jelasnya.
Bersamaan dengan fakta ini, Maulana mengaku masih pesimis dengan laju pertumbuhan industri hotel sampai akhir tahun. Bahkan, ia melihat ada potensi pertumbuhannya jauh lebih rendah ketimbang tahun lalu.
Hal ini berkaca dari kondisi okupansi pada Januari-Februari 2021 yang lebih rendah dari 2020. Sementara pada Maret-Mei 2021, pemerintah masih menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro.
"Jadi mobilitas tetap terbatas, dan lebih lama dari tahun lalu yang Januari-Februari-nya belum kena dampak pandemi dan pembatasan," pungkasnya.