Defisit APBN Tembus 6,1 Persen, Terlebar Dalam 20 Tahun
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 lalu tembus 6,1 persen dari PDB. Defisit APBN itu menjadi yang tertinggi selama 20 tahun terakhir.
Defisit melonjak dibanding rancangan awal APBN 2020 sebelum pandemi covid-19 yang ditargetkan hanya sebesar 1,76 persen dari PDB.
"Defisit APBN 2020 mencapai 6,1 persen PDB, tingkat yang belum pernah terjadi dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir," bebernya pada rapat paripurna membahas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (KEM PPKF RAPBN) 2022, Kamis (20/5).
Ani, akrab sapaannya, menyebut defisit APBN tahun lalu disebabkan karena APBN bekerja keras melindungi keselamatan WNI, sekaligus melindungi perekonomian dari hantaman dahsyat covid-19.
Hal tersebut tercermin dari peningkatan belanja negara mencapai 12,3 persen atau setara Rp2.593,5 triliun. Sementara, pendapatan negara menurun 16 persen karena terpukulnya dunia usaha.
"Di sisi lain, pemerintah memberikan berbagai insentif perpajakan untuk menolong dunia usaha agar tetap mampu bertahan," tambahnya.
Ani menyebut secara nominal, Indonesia rugi sebesar Rp1.356 triliun pada tahun lalu akibat hilangnya kesempatan menciptakan nilai tambah selama pandemi covid-19.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 mengalami kontraksi sebesar 2,1 persen. Realisasi itu merosot tajam dari target yang dipasang sebelum pandemi di kisaran 5,3 persen.
Tahun ini, ia menyebut kerja keras belum APBN belum berakhir karena pandemi masih berlangsung. Bahkan, terjadi gelombang kedua dan ketiga di beberapa negara, seperti di India.
Ia mengatakan kasus covid-19 di India menimbulkan bayangan ketidakpastian dan risiko pelemahan ekonomi global. Ia meminta untuk mewaspadai ancaman dari meledaknya kasus covid-19 meski pasar keuangan global saat ini cenderung stabil.
"Saat ini, pasar keuangan global cenderung stabil, yang terlihat dari turunnya indeks volatilitas di pasar saham dan pasar obligasi global. Aliran modal ke emerging markets (pasar berkembang) terus menunjukkan tren positif," jelasnya.
Selain ancaman lonjakan kasus seperti yang terjadi di India, Ani juga mengingatkan ancaman kenaikan inflasi yang terjadi di Negeri Paman Sam.
Apabila diikuti oleh pengetatan kebijakan moneter The Fed, ia khawatir inflasi bakal mengancam momentum pemulihan ekonomi di AS.
Dari sana, Ani menilai dapat menciptakan efek rambatan (), volatilitas, ketidakpastian di sektor keuangan, dan dinamika arus modal global seperti saat taper tantrum melanda pada 2013 silam.