Pengusaha Khawatir Tarif PPh Naik Picu Penghindaran Pajak

CNN Indonesia
Selasa, 25 Mei 2021 17:48 WIB
Sejumlah pengusaha menilai rencana pemerintah menarik PPh 35 persen kepada orang dengan penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun tak bisa dilakukan saat corona.
Sejumlah pengusaha menilai rencana pemerintah menarik PPh 35 persen kepada orang dengan penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun tak bisa dilakukan saat corona.Ilustrasi. (CNN Indonesia/Hesti Rika).
Jakarta, CNN Indonesia --

Sejumlah pengusaha menilai rencana pemerintah menarik Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 35 persen kepada wajib pajak yang memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun, tidak tepat dilakukan saat pandemi covid-19. Alih-alih memaksimalkan pendapatan negara, mereka menilai rencana itu justru berpotensi menimbulkan tax avoidance atau penghindaran pajak.

Ketua Bidang Keuangan & Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani menuturkan agar instrumen pajak optimal, maka dibutuhkan psikologi pasar dan psikologi pengusaha yang kondusif. Padahal, pada masa pandemi covid-19 tidak dipungkiri banyak sektor usaha terdampak.

Oleh sebab itu, ia menilai apabila pemerintah mengeluarkan instrumen pajak tersebut dalam waktu dekat, maka hasilnya tidak akan optimal.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kecenderungannya adalah ketika terjadi tarif yang lebih tinggi, mereka akan membuat tax avoidance atau penghindaran pajak. Ini yang tidak diharapkan dalam kondisi pandemi, sehingga khawatirnya mereka membuat penyesuaian keuangan mereka sendiri, orang kaya cenderung akan membuat pengalihan atas penghasilan dan omset yang mereka punya di masa pandemi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (25/5).

Menurutnya, celah wajib pajak melakukan tax avoidance sangat terbuka lantaran sistem pajak di Indonesia menganut sistem self assessment. Menurut sistem ini, maka besaran pajak ditetapkan oleh wajib pajak karena kegiatan proses menghitung, memperhitungkan, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang dilakukan oleh wajib pajak.

Sementara itu, pemerintah hanya bisa mengukur tax compliance atau kepatuhan pajak dari database. Padahal, ia mengatakan database yang dimiliki pemerintah saat ini belum sepenuhnya valid dan terintegrasi.

"Jadi, orientasi jangka pendek dan menengah pemerintah sebaiknya adalah bagaimana memperkuat database itu sendiri. Sekarang, bagaimana mungkin pemerintah belum memiliki database, justru membuat kegiatan intensifikasi dan kenaikan tarif pajak, maka otomatis ada ruang penghindaran pembayaran pajak karena ruangnya itu masih banyak sekali," ujarnya.

Namun, Ajib mengaku Hipmi mendukung rencana penarikan PPh 35 persen pada orang super tajir tersebut. Asal, hal tersebut dilakukan saat perekonomian Indonesia diprediksi telah pulih dari pandemi covid-19 yakni pada 2023 mendatang.

"Kalau itu mau diberlakukan saya pikir 2023 itu paling tepat, karena dari awal pemerintah juga menyadari dan memproyeksikan ekonomi akan pulih pada 2023," imbuhnya.

Menurutnya, rencana tersebut akan memaksimalkan fungsi pajak sebagai budgeter atau pengumpul uang untuk negara. Selain itu, rencana tersebut akan mendorong pemerataan dengan menekan angka gini rasio yang merupakan gambaran ketimpangan di Indonesia.

Senada, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta Sarman Simanjorang juga menilai momentum penarikan tarif PPh 35 persen kepada orang super kaya tidak tepat.

"Menurut hemat kami, momentumnya harus tepat sehingga efektivitasnya dapat dirasakan oleh pemerintah dan pelaku usaha tidak terbebani dengan kewajiban membayar pajak, karena ekonomi kita masih posisi resesi," ujarnya.

Namun, Sarman mengaku kurang mendukung rencana tersebut lantaran ia memprediksi hasilnya tidak akan maksimal mendorong pendapatan negara. Pasalnya, jumlah wajib pajak yang memiliki penghasilan di atas Rp5 miliar di Indonesia sangat terbatas.

"Hitung-hitungan pemerintah harus matang dan cermat, apakah memang di negara kita sudah layak dikenakan pajak sebesar itu," katanya.

Menurutnya, lebih efektif apabila pemerintah memperluas basis rasio pajak (tax ratio) yang saat ini masih rendah yakni di bawah 9 persen dari PDB. Sebab, jumlah pengusaha di Indonesia semakin bertambah mencapai 26,71 juta orang, sehingga ia menilai ada peluang untuk menggenjot tax ratio.

"Apakah tidak lebih baik menambah wajib pajak karena kita tahu hasil sensus ekonomi jumlah pengusaha sebanyak 26,71 juta, jadi ada peluang untuk menambah wajib pajak, ini lebih efektif ketimbang menyasar kepada wajib pajak penghasilan di atas Rp5 miliar yang jumlahnya terbatas," ujarnya.

Ia mengatakan upaya perluasan tax ratio yang bisa dilakukan pemerintah antara lain memperkuat basis data pajak pengusaha. Dengan demikian, pemerintah bisa mengetahui perusahaan yang sudah patuh pajak dan sebaliknya. Selain itu, pemerintah bisa menggali sumber perpajakan lainnya, antara lain pajak e-commerce dan cukai plastik.

[Gambas:Video CNN]



(ulf/age)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER