Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana menaikkan tarif pajak penghasilan (PPh) dari 30 persen menjadi 35 persen bagi wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan di atas Rp5 miliar. Sementara tarif pajak bagi mereka yang berpenghasilan di bawah itu tidak berubah.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kebijakan tersebut wajar dilakukan bendahara negara. Sebab, pemerintah tengah membutuhkan amunisi penerimaan pajak yang besar untuk menutup kebutuhan belanja yang semakin meningkat akibat dampak pandemi covid-19.
"Pemerintah juga tengah mendorong konsolidasi fiskal di tahun ini dan juga tahun depan, sehingga membutuhkan sumber-sumber penerimaan pajak," ucap Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Senin (24/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi apakah kebijakan pajak ini tepat diambil saat ini? Bagi Yusuf, tepat saja.
Sebab, penghasilan mayoritas 'orang tajir' tidak banyak terpengaruh oleh pandemi corona.
"Orang kaya di Indonesia menjadi salah satu di antara beberapa orang kaya di negara lain, yang jumlah kekayaannya mengalami penambahan, bahkan ketika pandemi covid-19 terjadi," ungkapnya.
Selain itu, rencana kebijakan ini menyasar pada PPh yang menjadi penyumbang terbesar dari keseluruhan setoran pajak dari masyarakat ke negara.
"Apalagi secara proporsi PPh untuk pribadi masih bisa didorong untuk lebih tinggi," imbuhnya.
Baca juga:Cara Tukar Kartu ATM Chip Hindari Blokir |
Di sisi lain, toh, rencana kenaikan tarif itu tidak akan langsung diberlakukan. Pemerintah pasti tetap butuh waktu untuk menerbitkan aturannya, meminta persetujuan DPR, sosialisasi, hingga implementasi di lapangan.
"Saya kira jangka waktunya minimal satu tahun sampai bisa menjadi uu. Jadi paling cepat uu untuk pengganti tarif pajak baru bisa dilaksanakan di tahun depan," ujarnya.
Kalau perkiraannya benar, ia mengatakan waktu penerapan kenaikan tarif itu menurutnya juga tepat. Sebab, ekonomi Indonesia diperkirakan sudah lebih baik pada tahun depan.
Tahun ini, pemulihan ekonomi masih berlangsung. Sementara pada tahun depan, kemungkinan bisa lebih lepas landas karena vaksinasi covid-19 yang menjadi penentu perekonomian setidaknya sudah bisa dilakukan secara masif.
Tapi, Yusuf mengingatkan kebijakan ini tentu tidak akan serta merta membuat realisasi penerimaan pajak menjadi normal lagi seperti masa sebelum pandemi. Perhitungannya, butuh waktu sekitar dua sampai tiga tahun untuk bisa mewujudkan hal itu.
Pasalnya, perbaikan bisnis di masing-masing sektor membutuhkan waktu pemulihan yang berbeda-beda juga. Kendati begitu, peningkatan pada kantong penerimaan pajak setidaknya ada.
Di sisi lain, Yusuf menyatakan kenaikan tarif pajak bagi orang kaya bukan semata-mata dilakukan karena pemerintah mau mengincar harta orang super kaya. Ini memang perlu dilakukan demi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Sebab saat ini, tarif PPh berhenti di angka 30 persen untuk pendapatan di atas Rp200 juta.
"Tentu layer ini menjadi tidak adil karena tarif akan sama antara wajib pajak yang penghasilan Rp250 juta misalnya dengan wajib pajak yang penghasilan mencapai Rp10 Miliar, sehingga, perubahan tarif ini lebih kepada untuk menambah layer penghasilan dari tarif progresif PPh Indonesia," jelasnya.
Menurutnya, layer ini memang perlu ditambah karena negara-negara lain pun menerapkan hal yang sama. Di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura misalnya, mereka punya layer tarif PPh yang lebih dari lima tingkat.
"Tentu kebijakan ini merupakan kebijakan yang patut diambil," tuturnya.