Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan US$2,36 miliar secara bulanan (month to month/mtm) pada Mei 2021.Realisasi itu lebih tinggi dari surplus US$2,19 miliar pada April, serta masih lebih tinggi dari neraca dagang Mei 2020 yang tercatat surplus US$2,09 miliar.
Secara total, akumulasi surplus neraca dagang Indonesia mencapai US$10,17 miliar pada Januari-Mei 2021. Nilainya lebih tinggi dari surplus US$4,31 miliar pada Januari-Mei 2020.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan surplus terjadi karena nilai ekspor mencapai US$16,60 miliar pada Mei 2021. Sementara nilai impor lebih kecil dibandingkan ekspor, yakni US$14,23 miliar. Tercatat, Indonesia mengalami surplus berturut-turut selama 13 bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nilai surplus ini lebih tinggi dari April lalu, neraca perdagangan dari Januari-Mei 2021 maka surplus perdagangan pada Mei 2021 ini merupakan yang tertinggi selama 2021," papar Suhariyanto saat rilis data neraca perdagangan periode Mei 2021, Selasa (15/6).
Namun, ia menuturkan Indonesia masih harus tetap waspada karena masih ada risiko yang membayangi yakni lonjakan pandemi covid-19. Di sejumlah negara, Pandemi covid-19 mempengaruhi kinerja perekonomiannya seperti India sehingga dikhawatirkan ikut berpengaruh pada Indonesia.
Untuk ekspor, ia menuturkan nilainya turun 10,25 persen secara bulanan dibandingkan US$18,49 miliar pada April 2021. Secara tahunan, nilainya naik 58,76 persen dari Mei 2020 sebesar U$10,45 miliar.
Secara total, ekspor Januari-Mei 2021 mencapai US$83,99 miliar atau naik 30,58 persen dari US$64,46 miliar pada Januari-Mei 2020.
"Penurunan ekspor secara mtm (bulanan) kalau dilihat dari pattern sebelumnya itu sesuai dengan pattern yang biasanya," katanya.
Secara rinci, kinerja ekspor ditopang oleh minyak dan gas (migas) mencapai US$940 juta atau turun 2,68 persen dibandingkan pada bulan sebelumnya US$960 juta. Sementara ekspor nonmigas sebesar US$15,66 miliar atau turun 10,67 persen dari sebelumnya US$17,53 persen.
Total ekspor nonmigas mencapai 94,36 persen dari total ekspor Indonesia pada Mei 2021. Menurut sektoral, mayoritas ekspor Indonesia turun.
Mulai dari industri pertanian turun 30,06 persen secara bulanan menjadi US$240 juta, namun naik 0,69 persen secara tahunan.
Lalu, ekspor industri pengolahan turun 14,02 persen secara bulanan menjadi US$12,83 miliar, dan secara tahunan naik 54,02 persen.
Namun, industri pertambangan dan lainnya meningkat 14,29 persen secara bulanan menjadi US$2,59 miliar, dan naik 95,37 persen secara tahunan.
Berdasarkan kode HS, peningkatan ekspor secara bulanan terjadi di komoditas bahan bakar mineral, tembaga dan barang daripadanya, barang dari besi dan baja, lemak dan minyak hewan/nabati, serta nikel dan barang daripadanya.
Sementara penurunan ekspor terjadi di komoditas mesin dan perlengkapan elektrik, besi dan baja, alas, karet dan barang dari karet, serta kendaraan dan bagiannya.
Berdasarkan negara tujuan ekspor, kenaikan ekspor terjadi ke Spanyol mencapai US$89,1 juta, Australia US$80,7 juta, Pakistan US$ 71,6 juta, Italia US$67,5 juta, dan Turki US$48 juta.
Sedangkan penurunan nilai ekspor terjadi ke Korea Selatan sebesar US$176,7 juta, Jepang US$227 juta, India US$290,3 juta, AS US$329,8 juta, dan China US$460,1 juta.
"Kita tahu India mengalami lonjakan pandemi covid-19 dan PMI India mengalami perunan cukup tajam pada April 55,5 sedangkan Mei 2021 ini drop menjadi 50,8 jadi perkembangan PMI di India ini akan penagruhi ekspor Indoensia ke India," katanya.
Kendati begitu, pangsa ekspor Indonesia tidak berubah, yakni terbanyak masih ke China mencapai 22,14 persen. Setelah itu ke AS sebesar 10,88 persen dan Jepang 7,01 persen.
Untuk impor, ia menuturkan nilainya turun 12,16 persen dari US$16,20 miliar pada April 2021 menjadi US$14,23 miliar pada Mei 2021. Namun, secara tahunan nilai impor masih naik 68,68 persen dari US$8,44 miliar pada Mei 2020.
Secara total, impor Januari-Mei 2021 mencapai US$73,82 miliar atau naik 22,74 persen dari US$60,15 miliar pada Januari-Mei 2020.
"Peningkatan impir yang sangat impresif adalah akibat low base efek pada Mei 2020 dan peningkatan harga pemulihan ekonmi dari berbagai negara dibarengi dengan kenaikan berbagai harga komoditas," katanya.
Impor terdiri dari impor migas sebesar US$2,06 miliar atau naik tipis 1,90 persen dari US$2,02 miliar pada bulan sebelumnya. Sementara impor nonmigas senilai US$12,17 miliar atau turun 14,16 persen dari sebelumnya US$14,18 miliar.
Suhariyanto mencatat menurut penggunaan barang, semua impor mengalami penurunan. Tercatat, impor bahan baku/penolong turun11,60 persen secara bulanan menjadi US$10,94 miliar, sedangkan secara tahunan naik 79,11 persen.
Selanjutnya, barang modal turun 14,09 persen secara bulanan menjadi US$1,98 miliar, dan secara tahunan naik 35,28 persen.
Impor barang konsumsi juga turun sebesar 13,77 persen secara bulanan menjadi US$1,40 miliar, dan naik 50,34 persen secara tahunan.
Berdasarkan kode HS, kenaikan impor berasal dari bijih, terak, dan abu logam, buah-buahan, produk farmasi, pulp dan kayu, serta sayuran.
Sementara penurunan impor berasal dari produk gula dan kembang, logam mulia, perhiasan permata, mesin dan peralatan mekanis, plastik dan barang plastik, serta mesin dan peralatan elektrik.
Berdasarkan negara asal impor peningkatan impor terjadi dari Afrika Selatan sebesar US$225, Turki US$42,7 juta, Italia US$22,6 juta, Pantai Gading US$16,3 juta, dan Belarus US$14,2 juta.
Sebaliknya, penurunan impor terjadi dari negara India US$165,5 juta, Thailand US$192,9 juta, AS US$195,1juta, Jepang US$316,2 juta, dan China US$564,7 juta.
Pangsa impor Indonesia utamanya didominasi dari China 32,6 persen, Jepang 7,52 persen, dan Korea Selatan 5,56 persen.
(ulf/agt)