ANALISIS

Mencari Sebab Pemerintah Telat Bayar Tagihan RS Rujukan Covid

CNN Indonesia
Jumat, 09 Jul 2021 07:45 WIB
Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia menjelaskan ada beberapa masalah yang membuat pemerintah telat bayar tagihan perawatan pasien covid. Berikut ulasannya.
Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia menjelaskan ada beberapa masalah yang membuat pemerintah telat bayar tagihan perawatan pasien covid. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adi Maulana).
Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memastikan baru dapat membayar 38 persen tagihan klaim perawatan pasien covid-19 dari rumah sakit tahun lalu yang mencapai Rp22,08 triliun.

Direktur Layanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Rita Rogayah menjelaskanRp6,62 triliun dari tagihan itu telah ditransfer ke rumah sakit dan sekitar Rp1,5 triliun lainnya akan dikirim pada minggu ini.

Ia mengatakan keterlambatan pembayaran tersebut terjadi akibat proses administrasi. Pasalnya sebelum dibayarkan, tunggakan harus diaudit terlebih dahulu oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belum lagi, sebagian dari klaim triliunan itu mengalami dispute atau ketidaksepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dengan rumah sakit.

Dispute tersebut membuat Kemenkes harus kembali memverifikasi ke daerah dan BPJS Kesehatan sebelum klaim diaudit BPKP dan diproses ke Kementerian Keuangan.

"Bagaimana pun kalau semua dispute ada di Kemenkes, pasti menyebabkan keterlambatan penyelesaian klaim," ucap Rogayah dalam konferensi pers virtual, Kamis (8/7).

Selain dispute, lambannya pembayaran juga disebabkan oleh kesalahan rumah sakit rujukan covid-19 dalam mengunggah tagihan atau klaim ke kementerian.

[Gambas:Video CNN]

Hingga akhir 2020, misalnya, total klaim tertunggak yang diterima pemerintah dan telah disetujui hanya sebesar Rp8,3 triliun. Adapun pembengkakan tagihan hingga Rp22,08 triliun, kata Rogayah, disebabkan terus masuknya klaim layanan covid-19 tahun lalu hingga Mei 2021.

"Untuk 2020 ini kami masih membayarkan bulan layanan di Maret, April, Juni. Tapi bulan-bulan awal pandemi pun masih ada yang mengklaimnya di 2021," ujarnya.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan Hanafi tak memungkiri masih banyak rumah sakit yang terlambat mengunggah tagihan ke kementerian kesehatan. Sebab tidak semua rumah sakit memiliki kemampuan sumber daya, peralatan, hingga sistem yang sama.

Belum lagi, beberapa rumah sakit menghadapi kendala sistem teknologi informasi dalam pengajuan klaim biaya sehingga tidak bisa memenuhi syarat dokumen dalam waktu cepat.

"Apalagi dalam kondisi covid-19 rumah sakit kan kewalahan. Jumlah perawatnya tidak seberapa, pasiennya banyak. Jadi untuk urus klaim, ya sangat mungkin tertunda-tunda turunnya," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (8/7).

Karena itu lah, ia menyarankan pemerintah memberikan uang muka (down payment/DP) sebesar 50 persen terlebih dahulu kepada rumah sakit yang telah mengajukan klaim jika proses pencarian masih panjang.

Menurutnya DP tersebut akan sangat bermanfaat membantu rumah sakit membiayai kebutuhan operasional yang meningkat sering dengan melonjaknya kasus covid-19.

Terlebih sebagian besar klaim yang ditunggak berasal dari rumah sakit swasta, yakni sekitar 800 dari total 1500-an rumah sakit rujukan covid-19.

"Kalau bisa pemerintah segera melakukan pembayaran untuk berkas yang sudah diverifikasi dan mungkin diberikan DP dulu maksimal 50 persen. Karena aturannya kan juga sudah ada. Untuk kondisi sekarang sebulan juga agak berat kalau tidak ada pembayaran," terangnya.

Sementara itu, ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (Arsada) Kalimantan Barat Yuliastuti Saripawan menilai banyaknya dispute tak lepas dari berubah-ubahnya pedoman tata laksana atau petunjuk teknis klaim penggantian biaya pasien covid-19 serta persyaratan yang terlalu banyak.

Ia berharap pemerintah memberikan kelonggaran administrasi pengajuan klaim di tengah kondisi darurat pandemi covid-19 ini. Sebab, rumah sakit umum daerah yang merupakan BLUD hanya bergantung pada pembayaran klaim oleh pemerintah pusat untuk bisa terus memberikan pelayanan kepada pasien.

"Ini yang kami harapkan. Mudah-mudahan kelonggaran administrasi. Toh, di situ ada pertanggungjawaban mutlak seorang direktur ketika akan mengajukan pengklaiman itu," ucapnya.

Di samping itu, lanjut Yuliastuti, rumah sakit daerah juga mendorong pemerintah untuk menyempurnakan aplikasi E-Klaim VS serta meminimalisir gangguan sistem yang dapat menyebabkan proses dispute berlarut-larut. Ia menyebut RSUD Soedarso Pontianak yang tempatnya bekerja misalnya, baru bisa mengakses dokumen untuk dispute 2020.

"Itu ada 32 status dari sekian status yang memang harus kami selesaikan. Kami memahami dengan banyaknya rumah sakit yang dispute, keterbatasan (sistem) itu yang jadi kendala. Harapannya ada kecepatan dalam membuka aplikasi dispute sehingga beberapa rumah sakit bisa menyelesaikannya dengan cepat," pungkasnya

(hrf/agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER