Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir menargetkan vaksin BUMN bisa diproduksi mulai April 2022. Hal ini sejalan dengan target izin penggunaan darurat yang keluar Maret 2022.
"Dan kita lagi tahap preklinis (untuk vaksin BUMN), nanti diharapkan dengan dukungan semua pihak, pada Maret 2022 sudah dapat izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA) dan dari Badan POM. Lalu April 2022 kita sudah bisa produksi," ujar Honesti saat jumpa pers kunjungan Menteri BUMN Erick Thohir di Bio Farma, Bandung, Sabtu (10/7).
Dia menyatakan dua kandidat vaksin covid-19 yaitu vaksin Merah Putih dan vaksin BUMN yang sedang dikembangkan saat ini adalah simbol kemandirian bangsa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi memang vaksin Merah Putih dan vaksin BUMN memang inisiatif yang menjamin kemandirian kita sehingga tidak banyak tergantung pada vaksin dari luar negeri," tambah Honesti.
Dia memaparkan penelitian vaksin Merah Putih telah melibatkan enam lembaga riset dan perguruan tinggi. Keenam lembaga tersebut yakni Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Airlangga, dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sementara untuk vaksin BUMN, pihak Bio Farma bekerja sama dengan Baylor College of Medicine, Amerika Serikat. Vaksin BUMN ini kabarnya sudah masuk daftar kandidat vaksin yang akan dirilis Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut Honesti, kapasitas produksi yang dimiliki Bio Farma sudah mumpuni. Adapun basis pengembangan vaksin BUMN ini dengan platform protein rekombinan.
"Enggak akan ada persaingan (antar kedua vaksin), toh Bio Farma juga ada di sana. Kenapa kerja sama dengan beberapa pihak, kami tahu pengembangan vaksin ini ada risikonya," ujar Honesti.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri BUMN Erick Thohir memastikan pemerintah terus mempercepat vaksin Merah Putih dan BUMN agar bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri yang saat ini masih sepenuhnya ditutup oleh bahan baku dan vaksin jadi dari luar negeri.
"Riset itu memang harus sebanyak-banyaknya karena dalam research dan development bisa terjadi kegagalan. Karena itu opsinya harus dibuka, sehingga kita harus membuka lembaga penelitian di luar negeri di Indonesia dan universitas. Tapi yang terpenting vaksin ini buatan Indonesia agar memastikan kita bisa mandiri tidak impor vaksin," tutur Erick.