Sejumlah analis juga memproyeksikan saham unicorn PT Bukalapak Tbk (BUKA) bakal menjadi saham yang diminati pelaku pasar. Melantainya BUKA memiliki euforianya sendiri karena merupakan saham unicorn pertama yang IPO di bursa dalam negeri.
Lucky menyebut BUKA bakal menjadi perusahaan yang mempraktikkan fungsi IPO dalam mengatasi masalah permodalan di tengah kerugian emiten. Tercatat, BUKA masih merugi Rp1,35 triliun pada 2020.
Pun merugi, Lucky menyebut perusahaan menarik untuk dikoleksi dengan strategi jangka menengah hingga panjang. "BUKA membutuhkan terobosan untuk kinerja fundamental, minimal dibutuhkan 1 tahun jadi tidak dianjurkan transaksi jangka pendek," bebernya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melihat prospek saham-saham teknologi di luar negeri seperti Amazon dan Alibaba, ia menilai BUKA yang dibanderol harga Rp750-Rp850 per saham memiliki peluang untuk bertumbuh besar.
Sementara, Hans menyebut target raupan IPO BUKA yang hampir mencapai Rp22 triliun bakal membuatnya menjadi IPO terbesar di Indonesia bila seluruh saham berhasil diserap oleh pasar.
BUKA bakal melepas 25 persen atau 25,76 miliar saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). 66 persen dari penawaran umum ini akan digunakan sebagai modal kerja dan sisanya dialokasikan ke anak usahanya.
Hans menilai secara umum strategi perusahaan ke depan cukup baik. Dengan tidak melepas terlalu banyak kepemilikan sahamnya ke publik, Hans memproyeksikan BUKA masih dapat berekspansi.
Namun sayangnya, ia menyebut karena selama 3 tahun terakhir BUKA belum mencatat keuntungan, maka belum dapat dihitung harga wajar saham.
Perlu diingat, kata Hans, bahwa penjualan bersih (sales) BUKA pada 2020 baru mencapai Rp1,3 triliun, sedangkan dana yang akan diraup dari IPO sebesar Rp21,9 triliun. "Book per value (nilai buku per saham) sangat tinggi sedangkan price earning per ratio (PER) tidak bisa diukur karena pendapatan masih negatif," jelasnya.
Di sisi lain, Hans menyebut perusahaan teknologi startup seperti BUKA memiliki ciri serupa, yakni memiliki ukuran dan pelanggan yang besar, namun masih mencetak kerugian. Besarnya kampanye dan diskon yang diberikan atau aksi 'bakar duit' startup membuat kerugian menjadi hal wajar.
Menurut dia, yang perlu diperhatikan saat menimbang membeli saham startup adalah fundamental perusahaan karena yang dibeli adalah ekspektasi ke depannya.
"Harapannya kerugian akan menipis dan dalam beberapa tahun ke depan bisa untung. Dari ukuran perusahaan, kapitalisasinya diperkirakan mencapai Rp76 triliun-Rp88 triliun. Mungkin sesudah IPO bisa menjadi Rp100 triliun," pungkasnya.
(bir)