Pengamat Cermati Ketahanan APBN di Balik Program PLTS Atap

CNN Indonesia
Jumat, 13 Agu 2021 13:34 WIB
Ilustrasi. (Foto: CNN Indonesia/ Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah dinilai perlu mewaspadai soal ketahanan APBN yang berkelanjutan untuk rencana percepatan pengembangan pembangkit listrik tenaga surya yang tengah dipersiapkan.

Pasalnya, sejumlah klausul yang muncul pada Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dinilai akan berdampak signifikan terhadap keuangan negara, khususnya di kondisi serba sulit akibat dampak Covid-19, serta badan usaha milik negara (BUMN) di bidang kelistrikan.

Hal itu mengemuka dalam dialog Indonesia Forward yang digelar oleh CNN Indonesia TV pada Kamis (12/8) malam.

Mukhtasor, Pakar Energi dari Institut Teknologi Surabaya (ITS), mengatakan sangat penting untuk menjaga program percepatan energi terbarukan yang dicanangkan oleh pemerintah itu secara berkelanjutan. Berkelanjutan yang dimaksud adalah berkaitan dengan kondisi keuangan negara.

Dia menilai bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan mendapat beban yang cukup berat dari program yang sedang dicanangkan demi mengejar percepatan perkembangan energi hijau di Indonesia. Namun di saat yang sama, ada ancaman terhadap keberlangsungan industri nasional, baik yang digerakan oleh swasta maupun yang digerakkan oleh BUMN.

Dia mencontohkan bahwa berdasarkan perhitungan kasarnya, pembangunan PLTS Atap sebesar 1 gigawatt akan menyedot anggaran negara sebesar Rp1,5 triliun per tahun untuk balance cost. Kemudian, untuk pembangunan pembangkit itu sebesar 5 gigawatt, anggaran negara yang akan dipakai dapat mencapai Rp7 triliun per tahun.

Artinya, jika masa operasional PLTS selama 5 tahun, maka jumlah uang negara yang akan tersedot program tersebut dapat mencapai Rp7,5 triliun (PLTS 1 gigawatt) dan Rp35 triliun (PLTS 5 gigawatt).

"Pertanyaannya adalah, kira-kira berapa tahun negara ini mampu menanggung (balance) cost ini? Sementara sekarang ini, masyarakat saja sudah mengibarkan bendera putih karena Covid-19. Lapangan kerja juga sulit. Kira-kira uang yang dialokasikan untuk program seperti ini mampu berapa tahun?" ujar Mukhtasor.

Dia terutama merujuk pada pasal 51 draf RUU EBT yang menyebutkan bahwa penetapan harga jual listrik yang bersumber dari energi terbarukan tersebut berupa tarif masukan berdasarkan jenis, karakteristik, teknologi, lokasi, dan/atau kapasitas terpasang pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan, harga indeks pasar bahan bakar nabati, dan/atau mekanisme lelang terbalik.

Adapun, harga energi terbarukan berupa tarif masukan tersebut ditetapkan untuk jangka waktu tertentu.

Dalam hal harga listrik yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi dari biaya pokok penyediaan pembangkit listrik perusahaan listrik milik negara, pemerintah berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga energi terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik milik negara dan/atau Badan Usaha tersebut.

"Di RUU, kalau pendekatannya adalah tarif yang dinaikan karena ada selisih harga yang harus ditanggung oleh pemerintah, negara ini mampunya berapa? Sekarang saja utang pemerintah ke BUMN, ke pertamina, ke PLN, tidak bisa dibayar tepat waktu," katanya.

Lebih lanjut, dia menyarankan bahwa dana yang dialokasikan untuk menutupi potensi balance cost tersebut dialihkan sebagian untuk insentif membangun industri PLTS dalam negeri.

Dia mencontohkan untuk pembangunan PLTS Atap berkapasitas 5 gigawatt yang diperkirakan akan menyedot uang negara sebesar Rp35 triliun dalam 5 tahun, maka sebaiknya yang Rp10 triliun dialokasikan untuk memberikan insentif bagi perkembangan industri di dalam negeri.

"Nah, uang yang kompensasi dari pemerintah tadi dipakai untuk menanggung kekurangan karena keekonomiannya yang kurang, misalnya termasuk pajaknya dihilangkan, kemudian supaya produksi panel dalam negeri itu bisa kompetitif, tadi harganya turun, angka kompensasi tadi bisa ditutup untuk menutup kerugian itu. Jadi duit negara diputar untuk membangun ekonomi nasional," katanya.

Jika menggunakan pola seperti yang dimunculkan melalui perundangan saat ini, tambahnya, uang negara yang digunakan untuk menanggung balance cost tadi akan tidak meninggalkan jejak pada kemampuan nasional dalam membangun energi terbarukan berbasis tenaga surya.

"Hanya untuk satu sisi saja, bahwa energi bersihnya akan tumbuh. Tetapi apakah berkelanjutan? Pemerintah apakah mampu mendanai itu? Pertanyaan ini menjadi berat sekali. Karena utang sudah banyak, rakyat sedang sulit, kalau ga mampu, ada kemungkinan harga itu akan naik," katanya.

Baca soal RUU EBT menjadi jawaban kekhawatiran di halaman berikutnya...

Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan

RUU EBT jadi Jawaban


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :

TOPIK TERKAIT