ANALISIS

Kurangi Rencana Utang Rp973 T di 2022 dengan Alihkan Anggaran

Ulfa Arieza | CNN Indonesia
Rabu, 18 Agu 2021 07:07 WIB
Ekonom memandang rencana penarikan utang Rp973,58 triliun perlu dikurangi. Supaya itu bisa dilakukan pemerintah perlu sisir anggaran yang bisa dialihkan.
Refocusing anggaran perlu dilakukan meski utang masih dalam batas aman. Ilustrasi. (CNN Indonesia/Hesti Rika).

Sepakat, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai masih ada ruang untuk melakukan refocussing anggaran. Dengan demikian, jumlah utang pun bisa ditekan.

Mengamini pernyataan Bhima, ia menyatakan pemerintah sebaiknya memangkas anggaran infrastruktur tahun depan karena dianggap belum prioritas.

"Maka memang sangat penting refocusing anggaran dilakukan saat ini. Ruang untuk refocusing ini sangat terbuka. Alokasi infrastruktur, perjalanan dinas, dan sebagainya masih bisa digunakan untuk penanganan pandemi," tuturnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain refocusing anggaran, ia menuturkan pemerintah bisa mengoptimalkan penggunaan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) maupun saldo anggaran lebih (SAL) dari APBN. Sebetulnya, langkah ini sudah direncanakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengurangi kebutuhan penarikan utang di 2021 sebesar Rp150,8 triliun.

Namun, pemasukannya ke dalam APBN 2021 dilakukan secara bertahap.

"Masih terdapat sisa anggaran yang artinya uang tidak digunakan sepenuhnya. Patut dipertanyakan penganggaran di APBN ketika ada SiLPA kita malah utang," ujarnya.

Menurutnya, permasalahan utang tidak bisa dianggap enteng. Apalagi, defisit keseimbangan primer semakin lebar, akibat pandemi covid-19.

Keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Keseimbangan primer bernilai negatif atau mengalami defisit jika total pendapatan negara lebih kecil daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang.

Nailul mengatakan defisit keseimbangan primer mengindikasikan bahwa untuk membayar utang, pemerintah harus menarik utang baru, alias gali lubang tutup lubang. Hingga Juni 2021, keseimbangan primer minus Rp116,3 triliun. Sepanjang tahun ini, keseimbangan primer diprediksi defisit Rp633,11 triliun.

"Jika masalah utang ini tidak diselesaikan maka bisa menimbulkan masalah yang pelik, salah satunya ketidakstabilan perekonomian terlebih apabila utang mendekati jatuh tempo. Bukan tidak mungkin, kejadian seperti krisis moneter 1997/1998 bisa terulang," ujarnya.

Utang Masih Aman

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal punya pandangan berbeda. Menurutnya, tambahan utang tersebut masih aman lantaran masih di bawah batas aman sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Per Juni 2021 lalu, utang pemerintah pusat mencapai Rp6.554,56 triliun. Sedangkan, rasio utang terhadap PDB mencapai 41,35 persen

"Sangat aman, karena kita tidak melihat nilai absolut. Publik selalu salah paham ketika melihat utang Rp6.000 triliun besar. Tapi, kan dibandingkan PDB itu masih di bawah 40 persen dalam konteks itu sebenarnya masih ama," ujarnya.

Ia tidak menampik bahwa kenaikan utang memiliki konsekuensi tambahan pembayaran bunga utang. Namun, menurutnya prioritas dalam jangka pendek adalah mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi covid-19, salah satunya pemberian stimulus fiskal.

Untuk itu, penarikan utang masih dibutuhkan oleh Indonesia. Apabila stimulus tidak digelontorkan maka pemulihan ekonomi semakin lambat.

"Prioritas kita sekarang bagaimana yang bermasalah adalah ekonomi jangka pendek, berarti harus kita tangani segera, kalau tidak akan lebih bermasalah lagi buat perekonomian. Ada konsekuensi, tapi kan ini nanti ada intervensi lain tapi kita bicara prioritas," ujarnya.

Dengan pertimbangan itu, ia juga tidak mempermasalahkan mayoritas sumber utang berasal dari penerbitan SBN. Sebab, apabila hanya mengandalkan pinjaman multilateral dan bilateral prosesnya akan lama.

Terlebih, semua negara membutuhkan pendanaan akibat pandemi, sehingga Indonesia masih harus bersaing dengan sejumlah negara lain yang membutuhkan. Meskipun suku bunganya lebih rendah, namun pemakaian dana pinjaman tersebut tidak fleksibel. Padahal pemerintah membutuhkan dan untuk menangani dampak covid-19 dan pemulihan ekonomi.

"Saya rasa tidak ada salahnya ketika pemerintah menambah SBN karena itu merupakan pilihan yang saya rasa paling rasional," ujarnya.

(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER