Jakarta, CNN Indonesia --
Riset The Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan vaksinasi covid-19 yang tidak merata dan berjalan lambat akan membuat ekonomi dunia merugi sekitar US$2,3 triliun atau Rp33.120 triliun (kurs Rp14.400 per dolar AS). Kerugian akan terjadi pada 2022-2025.
Mereka menyatakan dampak kerugian terbesar akan dialami oleh negara di kawasan Asia. Kerugiannya diperkirakan mencapai US$1,7 triliun atau 70 persen dari total buntung ekonomi yang dialami.
"Jadwal vaksinasi yang tertunda akan merugikan ekonomi global sebesar US$2,3 triliun pada 2022-2025. Asia akan menjadi benua yang paling parah terkena dampak dengan proyeksi kerugian kumulatif sebesar US$1,7 triliun," tulis EIU dalam laporan berjudul Third Quarter Global Forecast 2021, Rabu (25/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, mereka juga menyatakan vaksinasi covid-19 yang tak merata juga akan membuat pertumbuhan ekonomi sejumlah negara di berbagai kawasan menurun. Riset EIU memperkirakan potensi penurunan laju ekonomi terbesar ada di kawasan Afrika bagian selatan, yaitu mencapai 2,9 persen pada 2022-2025.
Lalu, disusul oleh kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara sebesar 1,4 persen pada periode yang sama. Sementara potensi penurunan pertumbuhan ekonomi Asia Pasifik mencapai 1,3 persen, Amerika Latin 0,3 persen, dan Eropa Timur 0,1 persen.
Sedangkan negara-negara di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat cenderung tidak mengalami penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, mereka tergolong negara-negara berpendapatan tinggi dan maju yang memiliki akses dan distribusi vaksin covid-19 yang tinggi di dunia.
Bahkan, riset EIU mencatat sekitar 60 persen dari masyarakat negara berpenghasilan tinggi telah menerima setidaknya satu dosis vaksin covid-19 pada akhir Agustus 2021. Kondisi ini timpang bila dibandingkan negara-negara berkembang dan miskin.
Pasalnya, baru 1 persen dari populasi mereka yang setidaknya menerima satu dosis vaksin pada periode yang sama.
"Negara-negara kaya telah memberikan vaksin 100 kali lebih banyak daripada negara-negara miskin," ungkap EIU.
Cek faktor penyebab ketimpangan vaksin dunia pada halaman berikutnya.
Ketimpangan akses dan distribusi vaksin covid-19 ini terjadi karena beberapa faktor. Pertama, negara-negara berkembang dan miskin sempat mengandalkan India sebagai produsen vaksin.
Namun tak disangka, negeri Bollywood itu sempat mengalami masalah kekurangan bahan baku dan kapasitas produksi yang rendah saat kasus covid-19 melonjak.
Peningkatan kasus covid-19 di India juga sempat membuat pemerintahnya membatasi distribusi vaksin untuk negara lain. Mereka mengutamakan pemenuhan kebutuhan untuk masyarakat lokal.
Kedua, kemampuan dana yang berbeda antara negara kaya dan miskin. Para negara kaya bisa langsung mengalokasikan dana mereka untuk membeli vaksin dari sumber mana saja. Sementara hanya sebagian negara berkembang yang mampu membeli vaksin.
[Gambas:Video CNN]
"Negara-negara kaya memvaksinasi sebagian besar populasi mereka lebih awal daripada yang lain," terang EIU.
Ketiga, ada isu kepercayaan terhadap vaksin yang berkembang di negara-negara berkembang.
"Banyak populasi di negara berkembang, termasuk Ukraina, Vietnam, dan India, juga menunjukkan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap vaksin," jelasnya.
Keempat, gerakan sumbangan atau hibah vaksin yang digalang oleh COVAX rupanya juga tidak mampu mempersempit jurang ketimpangan akses dan distribusi vaksin. Padahal, program hibah vaksin ini menargetkan bisa memberikan 1,9 miliar dosis vaksin ke berbagai negara di dunia.
Tapi sampai saat ini, realisasinya baru mencapai 210 juta dosis saja. Selain itu, hibah vaksin COVAX juga tidak adil.
Pasalnya, negara-negara yang tergolong mampu seperti Inggris dan Kanada justru menerima hibah vaksin lebih besar daripada yang diberikan COVAX ke kawasan Afrika.
"Pada akhir Juni, Inggris menerima 539 ribu dosis vaksin dari COVAX, ini lebih dari dua kali lipat dari jumlah vaksin yang dikirim COVAX ke Afrika pada bulan itu," tulis EIU.
Bahkan, bukan cuma hibah vaksin dari COVAX yang minim, tapi juga negara-negara kaya. Inggris misalnya, baru menyumbangkan 10 persen dari total janji mencapai 100 juta dosis vaksin ke negara-negara berkembang sampai pertengahan 2022 mendatang.
Begitu juga dengan Amerika Serikat, mereka lebih fokus memenuhi kebutuhan vaksin bagi masyarakat lokal. Rencananya, AS akan memberikan vaksin dosis ketiga ke masyarakatnya pada September mendatang.
"Akhirnya, fokus di negara maju secara bertahap beralih ke vaksinasi anak-anak dan pemberian dosis booster kepada masyarakat umum, yang akan menambah kekurangan bahan baku dan kemacetan produksi," terang EIU.
Kelima, EIU melihat ada keterlambatan produksi vaksin di Rusia. Hal ini membuat pengiriman vaksin sempat tertunda ke beberapa negara, seperti Argentina.
Produksi vaksin Rusia jauh tertinggal dari China yang sudah mengirimkan jutaan vaksin ke berbagai negara. Kendati begitu, beberapa lembaga melihat kelemahan dari vaksin covid-19 buatan China, di mana tidak semua negara menerima vaksin dari negeri tirai bambu karena dianggap memiliki tingkat kemanjuran yang rendah.
Lebih lanjut, ketimpangan vaksinasi covid-19 di antara negara kaya dan miskin di dunia berisiko menimbulkan perlambatan pemulihan ekonomi. Selain itu, juga bisa menimbulkan sentimen dari turis mancanegara ke beberapa negara yang realisasi vaksinasinya masih rendah.
"Pelancong dari negara yang divaksinasi mungkin terbukti enggan mengunjungi tujuan yang tidak divaksinasi," tulis EIU.
Atas berbagai proyeksi ini, EIU memberi rekomendasi agar pemerintah di berbagai negara mulai meninjau lagi strategi dan kebijakan dalam penanganan covid-19 di negara masing-masing. Salah satu kebijakan yang perlu dikaji adalah pembatasan aktivitas ketat (lockdown), seperti yang kerap dilakukan oleh Australia, Selandia Baru, hingga China.
"Pendekatan zero-covid yang diadopsi beberapa negara sepertinya tidak akan berkelanjutan dalam jangka panjang. Kebijakan semacam itu mewakili peluang ekonomi yang terlewatkan di masa depan jika seluruh dunia dibuka kembali," tutup laporan EIU.