Ahli Sebut OJK Sudah Maksimal Selamatkan Bumiputera
Polemik dana nasabah pemegang polis Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB) sebanyak 3 juta peserta tak kunjung menemui jalan keluar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun sudah menyatakan penyelesaian kasus AJBN memerlukan putusan pengadilan.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan, OJK selaku regulator sudah berupaya melaksanakan tugasnya untuk menyelamatkan AJBB secara maksimal.
"Peran OJK memang hanya sebatas mengarahkan dan memfasilitasi. Sementara keberhasilan penyelesaian permasalahan di AJBB lebih ditentukan oleh BPA dan manajemen (Komisaris dan Direksi) AJBB," kata Pieter dalam webinar iDEATE: Memahami Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Penyelesaian AJB Bumiputera, Selasa (31/8).
Pieter menyebut, permasalahan AJBB tidak pernah selesai tuntas karena pengelola AJBB, yakni Badan Perwakilan Anggota (BPA), Komisaris, dan Direksi tidak pernah konsisten melaksanakan program-program
yang mereka susun sendiri.
Pieter menjelaskan, sejak 1997 saat permasalahan AJBB pertama kali muncul, Kementerian Keuangan selaku regulator kala itu sudah berusaha memfasilitasi penyelesaian permasalahan di AJBB. Saat itu regulator meminta AJBB untuk menyusun program penyehatan jangka pendek dan menengah.
"Regulator juga sudah mengingatkan agar Badan Perwakilan Anggota (BPA) independen dan tidak
melakukan intervensi dalam pengelolaan AJBB," katanya.
Setelah itu regulator tidak pernah berhenti berupaya memfasilitasi penyelesaian permasalahan AJBB. Sejak 1997 hingga sekarang regulator
setidaknya sudah tiga kali menghadapi opsi melikuidasi atau melanjutkan upaya penyehatan AJBB.
"Tiga kali pula regulator memilih untuk menyelamatkan AJBB," kata Pieter.
Lebih jauh Pieter menyebut bahwa permasalahan gagal bayar yang terjadi di perusahaan asuransi besar seperti
Jiwasraya dan AJBB memang harus segera diselesaikan untuk menyelamatkan industri asuransi.
Sebab, permasalahan yang melanda industri asuransi berpotensi menghancurkan kepercayaan masyarakat. Sementara kepercayaan
masyarakat adalah jantungnya industri Asuransi.
"Berbeda dengan Jiwasraya, AJBB adalah perusahaan swasta murni dengan bentuk badan hukum usaha bersama. Pemilik polis adalah pemilik AJBB," ucapnya.
Karena itu ketika perusahaan mengalami kerugian, seluruh pemilik polis harus menanggung kerugian tersebut. Di sisi lain pemilik polis tidak bisa berharap pemerintah menalangi (bailout) seluruh kerugian AJBB.
Kata Pieter, pemilik polis pun tidak bisa menyalahkan regulator karena berlarut-larutnya permasalahan di AJBB. Kunci penyelesaian permasalahan AJBB ada di pengelola AJBB.
"Regulator, dalam hal ini OJK, hanya bisa membantu dan
memfasilitasi," ujarnya.
Belajar dari fakta bahwa gagalnya program penyehatan AJBB selama ini lebih disebabkan oleh intervensi BPA, regulator saat ini OJK telah mencoba untuk lebih tegas dengan mengeluarkan empat kali perintah tertulis kepada AJBB. Isinya meminta BPA untuk lebih independen, tidak mencampuri pengelolaan AJBB, serta segera mengambil tindakan mengakui kerugian yang dialami AJBB.
Menurut Pieter, Surat Perintah Tertulis dari OJK menjadi awal 'pembangkangan' BPA terhadap
OJK. BPA kemudian tidak memberikan dukungan yang cukup terhadap upaya-upaya penyehatan keuangan AJBB. Akibatnya seluruh program penyelesaian AJBB gagal.
Kemudian pembangkangan terbesar BPA adalah ketika OJK mengeluarkan perintah tertulis (yang keempat) melalui surat No. S-13/D.05/2020 tanggal 16 April 2020.
"Isi perintah tertulis tersebut adalah meminta AJBB untuk segera melaksanakan Sidang Luar Biasa BPA/RUA guna mengambil keputusan terkait kerugian yang dialami AJBB sebagaimana diatur dalam pasal 38 Anggaran Dasar AJBB," ungkap Pieter.
Pieter melanjutkan, pembangkangan BPA diwujudkan dalam bentuk gugatan judicial review terhadap UU No.40 tahun 2014 yang kemudian berdampak kepada PP No.87 tahun 2019 yang mengatur tentang badan usaha milik bersama.
Permohonan judicial review tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sekaligus menggugurkan PP No. 87 tahun 2019. Selanjutnya ketentuan tentang usaha perasuransian berbentuk usaha bersama harus diatur lebih lanjut dengan UU sendiri.
Pieter menyebut, pasca keputusan MK, terjadi kekosongan BPA di AJBB. Sesuai masa tugasnya kepengurusan Anggota BPA berakhir per 26 Desember 2020. Tetapi tidak bisa segera berganti karena tidak adanya payung hukum tentang bagaimana pergantian BPA dilakukan.
"Untuk mengatasi permasalahan kekosongan BPA ini OJK memfasilitasi pertemuan antara manajemen AJBB dengan perwakilan beberapa perkumpulan pempol, asosiasi agen, dan SP NIBA, pada tanggal 16 Maret 2021," katanya.
Dalam pertemuan tersebut disepakati antara lain direksi akan mengajukan penetapan Panitia Pemilihan BPA melalui Pengadilan. Putusan pengadilan terkait panitia pemilihan BPA ini akan dibacakan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada, Rabu (1/9) besok.
(osc)