Kementerian Ketenagakerjaan mendorong dunia usaha dan industri untuk mewujudkan komitmen kuat menjaga kelangsungan hubungan kerja yang harmonis, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemnaker, Indah Anggoro Putri, menyampaikan hal itu dalam pembukaan Dialog Kesetaraan Upah dan Perlindungan Hak-Hak Lainnya Bagi Pekerja Perempuan di Tempat Kerja di Jakarta. Putri menegaskan, kenyamanan bekerja tanpa diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan seksual di tempat kerja harus diwujudkan bersama.
"Kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja dapat menimpa siapa saja dan merugikan semua pihak. Bagi pekerja mengakibatkan turunnya kinerja yang mempengaruhi produktivitas kerja, sehingga dapat berdampak pada kelangsungan usaha bagi pengusaha," ungkap Putri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada kegiatan Dialog Kesetaraan Upah dan Perlindungan Hak-Hak Lainnya Bagi Pekerja Perempuan di Tempat Kerja, dilakukan pembahasan strategi menciptakan budaya nol toleransi terhadap gangguan atau zero tolerance for harassment. Adanya perbedaan relasi kekuasaan antara bawahan dan atasan disebut kerap menimbulkan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, di mana perempuan menjadi kelompok yang rentan menjadi korban.
Putri menegaskan, di bawah kepemimpinan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Kemnaker memiliki perhatian besar terhadap peningkatan perlindungan hak-hak bekerja bagi pekerja perempuan. Hal itu terjadi antara lain akibat diskriminasi pekerja perempuan dalam hubungan kerja, yang membuat hubungan industrial jadi tidak kondusif.
"Dalam rangka peningkatan pelindungan dan perhatian hak-hak bekerja bagi perempuan Ditjen PHI dan Jamsos, menyelenggarakan Dialog Kesetaraan Upah dan Perlindungan Hak-Hak Lainnya Bagi Pekerja Perempuan di Tempat Kerja," kata Putri.
Menurutnya, hal tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat capaian kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Untuk itu, Putri mendorong adanya kepedulian bersama untuk menciptakan kenyamanan bekerja, yaitu melalui pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja, terlebih bagi pekerja perempuan.
Di sisi lain, pelaksanaan perlindungan bagi pekerja perempuan di tempat kerja membutuhkan pengawasan pemerintah. Putri menjelaskan, masih terjadi pemberian hak-hak pekerja perempuan yang tak sama dengan pekerja laki-laki, meski perusahaan memiliki tanggung jawab yang sama seperti tentang hak cuti, tunjangan keluarga, fasilitas, maupun jaminan sosial.
"Undang-undang telah menegaskan bahwa setiap pekerja dilindungi hak-haknya atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia," katanya.
Selain instrumen dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah guna menekan angka kekerasan seksual terhadap pekerja perempuan, Staf Ahli Kementerian Ketenagakerjaan, Dita Indah Sari, mendorong agar Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.SE.03/MEN/IV/2011 tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja untuk dinaikkan menjadi Peraturan Menteri Ketenagakerjaan, sehingga lebih kuat.
"Dengan menjadi Permenaker, maka RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat lebih kuat pengesahannya. Kalau masih berupa Surat Edaran agak sulit disahkan karena lebih bersifat imbauan. Selain itu Kemnaker juga telah memfasilitasi Komitmen Bersama Konfederasi serikat Pekerja dan Apindo keoada DPR agar segera mengesahkan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) pada 30 April lalu," ungkap Dita.
(rea)