Pakar energi mengungkap sejumlah tantangan yang dihadapi RI terkait dengan percepatan transisi energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT).
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebutkan pada prinsipnya EBT merupakan suatu keniscayaan di dunia dan bahwa memang akan terjadi transisi energi. Namun, dia mengingatkan bahwa Indonesia tidak perlu memaksakan diri untuk mengikuti tren global saat ini di kala kondisi internal dalam negeri belum siap.
"Kita tidak harus memaksakan untuk mengikuti tren saat ini, di mana kita lihat industri dalam negeri sendiri belum memungkinkan untuk kita jor-joran ke arah sana. Karena akan membebani negara dan PLN," katanya, Rabu (8/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebutkan bahwa ada sejumlah catatan yang harus diperhatikan di tengah upaya pemerintah dan pemangku kepentingan terkait dalam mendorong percepatan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
Pertama, ujarnya, pengembangan EBT yang begitu masif di tengah kondisi listrik yang masih over capacity akibat dari program 35.000 MW yang saat ini sedang dijalankan, secara otomatis akan menambah beban bagi PLN yang pada akhirnya menjadi beban bagi kas negara.
Sebagaimana diketahui, program pembangkit listrik 35.000 MW menerapkan skema Take or Pay kepada PLN sebagai satu-satunya perusahaan pengelola listrik milik negara. Artinya, PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik.
Sementara itu, serapan listrik dalam negeri rendah sebagai dampak dari ekonomi yang tidak bergerak karena pandemi.
Dalam draf RUU EBT, Mamit melihat skema Take or Pay akan berlaku juga bagi energi listrik yang dihasilkan oleh EBT. Hal itu lantaran PLN harus menyerap listrik yang dihasilkan oleh EBT. Dengan demikian, lanjutnya, PLN harus menyerap dua Take or Pay dari dua sumber yang berbeda. Pertama dari energi fosil, kedua dari EBT.
"Dengan kondisi tersebut, ditambah dengan rencana pengembangan EBT yang sedang dicanangkan saat ini, otomatis akan menambah beban juga. Karena mau tidak mau, ketika skema ini harus, mereka harus ambil. Dengan demikian, menambah beban subsidi atau beban kompensasi dari pemerintah kepada PLN," katanya.
Dia menambahkan bahwa potensi beban tambahan juga akan muncul dari skema feed in tariff yang telah menetapkan lebih dahulu tarif listrik yang akan dijual, sehingga selisih antara biaya pokok produksi listrik dan harga jual listrik mau tidak mau ditanggung oleh PLN dan pemerintah.
Mamit juga tidak luput menyorot aturan tentang standar portofolio energi terbarukan. Dengan aturan baru, katanya, bagi pembangkit yang tidak menggunakan bahan utama energi terbarukan wajib membeli sertifikat energi terbarukan.
"Bagi saya, ini juga akan menambah beban yang harus ditanggung PLN karena sebagian besar pembangkit mereka saat ini adalah PLTU. Saat sebagian besar pembangkit PLN adalah PLTU, mereka harus membeli sertifikat tersebut," katanya.
Lebih lanjut, Mamit menyebutkan bahwa salah satu hal utama yang perlu dilakukan secara paralel dengan rencana peningkatan bauran energi terbarukan adalah mendorong pertumbuhan industri dalam negeri. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengutamakan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
"Karena biar bagaimana pun TKDN akan memberikan efek berlipat di tengah masyarakat. Dengan banyaknya industri dalam negeri yang berkembang, beroperasi, mulai dari pengembangan panel surya, kemudiansparepart-sparepartuntuk pembangkit listrik energi lainnya dan sebagainya. Pekerjaan juga bisa semakin banyak, ekonomi bisa bertumbuh kembali," ujarnya.
Mamet menyebutkan bahwa pemerintah tetap dapat melakukan transisi kerenewable energydan terus mencoba meningkatkan bauran sesuai target RUEN yakni 23 persen di 2025. Namun, lanjutnya, pemerintah juga dapat melirik cara-cara lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
"Ada cara lain untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi dari batu bara. Salah satunya yaitu dengan cara peningkatan co-firing biomass. PLN sudah mencoba dan berhasil di beberapa pembangkit mereka. Ini juga bisa membantu mengurangi sampah," katanya.
Pakar energi dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) Mukhtasor menambahkan pemerintah perlu berhati-hati saat merumuskan aturan yang mendorong percepatan bauran energi terbarukan karena ada pihak-pihak yang mengambil untung sepihak dari upaya yang tergesa-gesa tersebut.
Dia menekankan bahwa apabila upaya percepatan bauran energi terbarukan dilakukan untuk menekan emisi karbon demi menjaga bumi dari dampak perubahan iklim, maka yang harus dilakukan adalah langkah mengurangi penggunaan energi tak terbarukan secara bertahap.
Bukan secara tergesa-gesa mendorong pemanfaatan energi terbarukan tertentu dan pada prosesnya dapat merugikan PLN dan negara.
"Tata kelola energi itu harus dijaga bareng-bareng. Jangan sampai yang terjadi adalah hukum rimba. Kalau ini yang terjadi, nanti bukan undang-undang yang diikuti, tetapi yang kuat pengaruhnya. Kecenderungan ke arah situ sudah ada," katanya.
Lebih lanjut, Mukhtasor mengingatkan target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 bukan kewajiban yang harus dikejar secara kaku, melainkan ada kondisi-kondisi yang diperlukan untuk mencapai target tersebut.
"Narasinya tidak terputus di klausul bahwa pada 2025 sebanyak 23 persen bauran EBT. Bukan begitu. Tetapi ada narasi lanjutannya, yakni EBT dikembangkan hingga minimum 23 perssen pada 2025 sepanjang tingkat keekonomiannya memenuhi," katanya.
Di sisi lain, tambahnya, angka 23 persen yang dibidik oleh pemerintah saat menargetkan bauran EBT pada 2025 juga ditetapkan dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yakni sekitar 7 persen.
Adapun pada saat ini, ujarnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tertekan sebagai dampak pandemi. Setelah sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak di kisaran 5 persen, pandemi membuat angka pertumbuhan sempat menyentuh level negatif. Pertumbuhan ekonomi yang tertekan berarti konsumsi listrik juga rendah.
Sebelumnya, Mukhtasor menyebutkan bahwa sangat penting untuk menjaga keberlanjutan program percepatan energi terbarukan secara finansial. Pasalnya, dia menilai bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) RI akan mendapat beban cukup berat dari program tersebut, sedangkan di saat yang sama ada ancaman terhadap keberlangsungan industri nasional.
Dia mengatakan telah menghitung pembangunan PLTS sebesar 1 giga watt akan menyedot anggaran negara sebesar Rp1,5 triliun per tahun untuk balance cost. Kemudian, untuk pembangunan PLTS sebesar 5 giga watt, anggaran negara yang akan dipakai dapat mencapai Rp7 triliun per tahun.
"Pertanyaannya adalah, kira-kira berapa tahun negara ini mampu menanggung [balance] cost ini? Sementara sekarang ini, masyarakat saja sudah mengibarkan bendera putih karena Covid-19," ujar Mukhtasor.
Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR RI, sebelumnya menegaskan bahwa aturan yang sedang disiapkan tidak akan serta merta mengganggu keberlangsungan sebagaimana yang dikhawatirkan oleh pakar energi.
Dia menuturkan pihaknya menyiapkan aturan yang diusahakan dapat mengakomodir kekhawatiran-kekhawatiran yang telah timbul. Dia mencontohkan salah satu yang termahal dan membebani anggaran PLN saat ini adalah pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD).
"Bayangkan, energi primer di PLN itu Rp115-an triliun, tetapi energi primer tenaga diesel menelan Rp20 triliun sendiri. Padahal, tenaga diesel hanya 2 giga watt dibandingkan total 63 giga watt yang ada. Bayangkan betapa persentasenya kecil sekali, sementara merongrong. Inilah yag sekarang juga kita dorong untuk diganti dengan EBT," katanya.
Dia juga menegaskan RUU EBT yang berjumlah 61 pasal membawa misi untuk mendorong pengembangan potensi energi baru dan terbarukan secara optimal.
Artikel ini merupakan bagian dari kampanye "Energi dari Negeri" mengenai RUU Energi Baru dan Terbarukan
(asa/asa)