ANALISIS

KAI Butuh Modal Besar Jadi 'Bos' Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Dinda Audriene Muthmainah | CNN Indonesia
Kamis, 09 Sep 2021 07:42 WIB
KAI akan menjadi pemegang saham mayoritas di konsorsium proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Lantas, bagaimana kelanjutan proyek kereta cepat tersebut?
KAI akan menjadi pemegang saham mayoritas di konsorsium proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. (ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI).

Sementara, ia menilai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung harus tetap dilanjutkan. Jika disetop sementara, maka akan merugikan BUMN dan pihak dari China.

"Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mungkin sudah progress 60 persen. Jadi agak riskan kalau proyek dihentikan, apalagi bentuknya joint venture yang melibatkan investor asing," kata Toto.

Untuk mengurangi tekanan di keuangan BUMN konsorsium, Toto mengusulkan untuk menambah investor lokal. Dengan demikian, penyetor modal akan bertambah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Upaya menambah investor lokal di proyek ini bisa dipertimbangkan atau juga menjual prospek proyek ini ke Lembaga Pengelola Investasi (LPI) bisa jadi alternatif," ucap Toto.

Senada, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto mengungkapkan sulit menyetop proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Masalahnya, potensi pendapatan akan semakin lama didapat jika proyek dihentikan sementara.

"Misalnya tahun berapa seharusnya sudah beroperasi, tapi sudah sampai tahun tersebut belum beroperasi. Nanti biaya lagi," tutur Eko.

Belum lagi, sambungnya, jika harga bahan baku proyek naik karena inflasi. Hal itu akan mempengaruhi total biaya proyek nanntinya.

"Pilihan rasional tetap jalan," imbuh Eko.

Di sisi lain, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan KCIC bisa melakukan negosiasi ulang dengan kreditur dan investor untuk menyetop proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Sebab, proyek ini tak bersifat mendesak, terlebih di tengah pandemi covid-19.

"Evaluasi total dan opsi terbaik adalah stop dulu proyeknya. Intinya cut loss biasa dilakuan di proyek yang tidak feasible secara ekonomi," kata Bhima.

Masalahnya, sambung Bhima, tingkat efisiensi dari suatu investasi (internal rate of return/IRR) berpotensi sangat kecil jika proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dipaksa tetap berjalan.

"Pendapatan operasional diperkirakan sangat sulit menutup pembiayaan utang dan biaya operasional," ujar Bhima.

Bhima mengingatkan pemerintah terkait proyek kereta bandara Sudirman-Soekarno Hatta yang rata-rata tingkat okupansinya sebesar 30 ersen sebelum pandemi. Kemudian, tingkat okupansi anjlok selama pandemi.

Ia khawatir nasib yang sama akan menimpa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Jika benar terjadi, maka akan merugikan semua pihak, baik pemerintah hingga BUMN.

"Kalau dibiarkan proyek (kereta cepat Jakarta-Bandung) selesai, kemudian beroperasi, siapa yang akan menanggung selisih biaya tiket dengan beban operasional, belum termasuk pengembalian utang?," jelas Bhima.

Menurutnya, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tak logis secara ekonomi. Jadi, sah-sah saja jika pemerintah membatalkan proyek tersebut.

"Apakah ini akan mengubah perspektif investor terhadap kepastian investasi? Saya kira tidak ya," tutur Bhima.

Investor, sambungnya, yang berorientasi pada tingkat keuntungan juga mempertimbangkan biaya yang harus dikeluarkan dalam membangun proyek. Jika terlalu besar dan berpotensi merugian, maka wajar jika dibatalkan.

"Apabila suatu proyek biayanya terlalu besar wajar apabila dibatalkan sebelum biayanya membengkak lagi dan justru merugikan dalam jangka panjang," papar Bhima.

Lagi pula, pemerintah akan semakin boncos jika mempertahankan proyek ini. Pemerintah masih harus menambah PMN untuk KAI agar dapat menambah modal di PSBI.

Ujung-ujungnya, belanja negara tergerus lagi untuk hal yang bersifat tak mendesak.

"Iya ujung-ujungnya utang meningkat, menambah PMN dari APBN," imbuh Bhima.

Sementara, jika proyek dibatalkan, pemerintah hanya perlu berdiskusi terkait nasib aset yang sudah dibangun selama masa konstruksi. Aset yang tak memiliki nilai perlu dinegosiasikan dengan kreditur.

"Aset yang tidak memiliki nilai biasanya dialihkan untuk proyek lain yang lebih memiliki manfaat," jelas Bhima.



(age)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER