ANALISIS

Mencari Biang Kerok Kebocoran Pajak RI

Wella Andany | CNN Indonesia
Jumat, 17 Sep 2021 08:46 WIB
Masalah rendahnya realisasi perpajakan di RI bukan hal baru. Pemerintah harus mencari sumber kebocoran pajak agar target dapat terealisasi.
Masalah rendahnya realisasi perpajakan di RI bukan hal baru. Pemerintah harus mencari sumber kebocoran pajak agar target dapat terealisasi.(CNNIndonesia/Safir Makki).

Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty mengatakan perlu dilakukan perbaikan format perpajakan yang lebih cocok ke sektor pertambangan dan hulu seperti perkebunan kelapa sawit. Ia menduga akar permasalahan ada pada pengecualian (exemption) PPN yang diberikan di sektor perkebunan.

Saat ini, PPN untuk sektor perkebunan disamakan dengan sektor pertanian, yaitu tarif PPN 1 persen. Padahal, menurut Telisa, pertanian memang menyasar sembako masyarakat, sedangkan tidak banyak produk hasil perkebunan yang masuk dalam daftar sembako. Sehingga, ia menilai seharusnya ada perbedaan perlakuan perpajakan.

Ia mencurigai ada permasalahan sistem perpajakan pemerintah karena booming harga komoditas tidak diikuti oleh kenaikan penerimaan pajak signifikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 2019, ia mencatat kontribusi PDB sektor perkebunan dan pertanian mencapai 13,5 persen, namun kontribusi pajaknya hanya 1,35 persen. Melihat ketimpangan antara kontribusi PDB dan kontribusi perpajakan tersebut, ia menilai pemerintah mestinya fokus menggarap potensi perpajakan di sektor terkait sebelum menyasar PPN bahan makanan.

"Memang ada bagian dari perkebunan yang dipakai untuk sembako tapi sedikit, banyak juga untuk sektor industri. Nah itu harusnya agak beda perlakuan, khawatirnya banyak pengecualian tax base-nya jadi rendah," jelasnya.

Kejar Potensi Pajak

Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan Ronny Bako menyatakan kunci agar target pajak bisa tercapai dan tidak terjadi kebocoran sana-sani ada pada 'niat' pemerintah mengejar potensi penerimaan pajak.

Ia menyebut pemerintah tidak boleh setengah hati mengejar potensi pajak, dalam hal ini ia mengatakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus diperkuat menjadi lembaga mandiri setara kementerian. Saat ini, DJP masih menjadi salah satu lembaga eselon I di Kementerian Keuangan.

Bila perlu, ia menyarankan untuk mencontoh lembaga pajak di AS, Internal Revenue Service (IRS), yang bertanggungjawab langsung kepada Pemerintah Federal atau Kantor Kepresidenan.

"Dirjen Pajak kan adanya di bawah Kemenkeu, tapi kalau dia dilepas jadi lembaga sendiri seperti IRS di AS setara kementerian itu lebih dahsyat, karena masih di bawah Kemenkeu jadi hambatan-hambatan ini wajar saja," bebernya.

Selain itu, ia menyebut harus dimasukkan klausul yang membuat pengusaha pikir-pikir tak membayar pajak. Ia menilai klausul ini dapat dimasukkan Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Mumpung masih dibahas, ia menyebut mesti ada aturan khusus yang memberi DJP kewenangan membekukan rekening bank pengusaha yang tak patuh pajak, Saat ini, ia mengatakan pembekuan hanya bisa dilakukan khusus untuk kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Bila pembekuan bisa dikenakan pada kasus penyelewengan pajak, ia menilai target pajak pemerintah bakal tercapai karena pengusaha bakal takut tak patuh pajak.

Klausul ini, menurut dia, bisa saja ditambahkan pemerintah bila mau karena implementasi TPPU sudah dibuktikan bisa berjalan.

"Seperti tindak pencucian uang UU terorisme bisa, kenapa ini kita ga mau? Sekarang mau engga? Itu saja," tutupnya.



(age)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER