Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah akan menyiapkan instrumen surat utang berupa Surat Berharga Negara (SBN) khusus untuk menampung dana dari program pengungkapan pajak secara sukarela (PPS) atau yang dikenal juga sebagai tax amnesty jilid kedua. Rencananya, program ini berlangsung mulai 1 Januari 2022.
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menjadi landasan pelaksanaan tax amnesty jilid II. Dalam UU tersebut telah dituangkan besaran tarif pajak penghasilan (PPh) yang bakal dikenakan terhadap nilai harta yang dilaporkan.
"Nanti memang SBN-nya akan khusus, yang diatur di undang-undang saat ini mengenai tarif PPh-nya yang sudah khusus. Nanti SBN-nya tentu mengikuti," ujar Suahasil di konferensi pers APBN KiTa edisi Oktober 2021, Senin (25/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suahasil mengatakan surat utang khusus ini sengaja disiapkan agar pengungkapan harta yang selama ini belum terpajaki bisa ditempatkan ke instrumen tersebut. Selanjutnya, instrumen itu akan membantu pemerintah dalam membiayai berbagai kebutuhan negara, termasuk APBN.
"Kami berharap yang masuk ke SBN bisa bantu proses pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah di 2022," jelasnya.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo menambahkan saat ini instrumen surat utang masih dalam proses persiapan dan belum final. Nantinya, DJP akan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu.
"Nanti Pak Luky (Dirjen PPR) bisa elaborate, kira-kira instrumen apa yang sudah disiapkan dan akan digunakan untuk tampung dalam program pengungkapan sukarela yang ada di UU HPP," kata Suryo.
Sebelumnya, pemerintah sudah menetapkan tarif PPh final atas pengungkapan harta di program tax amnesty jilid II. PPh final akan dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.
Tarif itu terdiri dari 6 persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan diinvestasikan untuk kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi baru terbarukan (EBT), serta surat berharga negara (SBN).
Lalu, 8 persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan tidak diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN. Selanjutnya, 6 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan bahwa akan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia serta diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN.
Kemudian, tarif 8 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan dialihkan ke Indonesia, tetapi tak diinvestasikan ke sektor SDA, EBT, dan SBN. Kemudian, 11 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dan tak dialihkan ke Indonesia.