Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan butuh waktu hampir 100 tahun untuk mengatasi masalah ketimpangan gender (gender gap) di dunia berdasarkan kajian World Economic Forum (WEF) Report 2020.
"Menurut WEF global gender report 2020, terjadi inequality (ketidaksetaraan) secara gender yang hanya bisa ditutup jangka waktu 99,5 tahun. Jadi dibutuhkan periode hampir 100 tahun untuk bisa tutup gender gap," ucap Sri Mulyani dalam acara Indonesia Stock Exchange, Rabu (22/12).
Sri Mulyani menjelaskan kesetaraan gender menurun 0,6 persen sejak 2018. Jika diakumulasi sejak 2006, maka kesetaraan gender turun 4 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Dengan situasi saat ini, kajian WEF itu memproyeksi kesetaraan gender baru terjadi dalam 99,5 tahun ke depan.
"Ini terutama karena perempuan masih sangat tertinggal dalam partisipasinya di sisi perekonomian dan sisi politik," terang Sri Mulyani.
Ia menyebut meski beberapa peran penting kabinet dan DPR RI dipegang oleh perempuan, namun kenyataannya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja masih sangat rendah.
Menurut dia, partisipasi perempuan Indonesia hanya 54 persen di angkatan kerja saat ini. Porsinya jauh lebih rendah dari pria yang mencapai 82 persen.
Kalau pun berada dalam angkatan kerja, kata Sri Mulyani, perempuan lebih banyak mengisi pekerjaan yang secara skala ekonominya masih rendah.
"Banyak perempuan ikut dalam angkatan kerja atau kegiatan ekonomi, namun sisi kualitas biasanya ada di sektor informal. Produktivitas rendah dan upah pendapatan mereka jauh lebih kecil," ungkapnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan pihaknya telah melakukan beberapa langkah untuk mengatasi ketimpangan gender, khususnya di Kementerian Keuangan.
Salah satunya lewat peluncuran anggaran dana alokasi khusus (DAK) non fisik yang dipakai untuk pelayanan dan perlindungan perempuan serta anak.
Instrumen keuangan itu dibentuk atas inisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Kementerian itu melihat banyak perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan di daerah.
Melalui dana yang ditransfer langsung ke daerah, maka harapannya pemerintah setempat dapat memastikan perempuan muda mendapatkan pendidikan tanpa harus berada di posisi yang rentan menjadi korban kekerasan.
"Ini sesuatu yang harus kami perjuangkan, jangan sampai anak-anak perempuan kita jadi target, selain mereka sebetulnya ingin sekolah malah justru jadi korban kejahatan. Apalagi yang dilakukan para pengasuh sekolah tersebut," tandasnya.