Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet memperkirakan perputaran uang masyarakat akan mencapai Rp130 triliun sampai Rp150 triliun pada Desember 2021. Jumlahnya meningkat cukup tinggi jelang momen libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 (Nataru) meski kasus covid-19 varian omicron tengah meningkat di Indonesia.
"Penambahan jumlah uang beredar berada di kisaran Rp130 triliun sampai Rp150 triliun," ungkap Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Senin (27/12).
Dengan potensi perputaran uang tersebut, ia memperkirakan jumlah uang beredar di Indonesia akan mencapai Rp7.443 triliun sampai Rp7.458 triliun pada akhir tahun. Jumlah tersebut lebih tinggi dari kumulatif uang beredar pada Desember 2020 sebesar Rp6.900 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini karena ada potensi peningkatan konsumsi rumah tangga dari mobilitas dan aktivitas masyarakat pada akhir tahun, karena pembatasan cenderung dilonggarkan. Ini menguatkan sentimen bahwa omicron belum berdampak ke pergerakan masyarakat, meski kasusnya bertambah," katanya.
Menurut Yusuf, meski ada omicron, tapi pemerintah tidak membatasi pergerakan masyarakat secara ketat di dalam negeri. Pemerintah lebih waspada pada pergerakan warga negara Indonesia (WNI) yang baru datang ke Indonesia setelah berpergian ke luar negeri.
"Untuk masyarakat di dalam negeri lebih ke imbauan, tapi ini belum berdampak ke penurunan mobilitas, bahkan kunjungan masyarakat ke tempat wisata cukup tinggi saat libur Natal kemarin," jelasnya.
Lihat Juga : |
Selain itu, menurutnya, indeks keyakinan konsumen dan penjualan ritel secara riil juga meningkat. Hal ini semakin mengonfirmasi akan ada peningkatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada Desember 2021.
Yusuf memperkirakan kontribusi tersebut akan membuat pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5 persen sampai 6 persen pada kuartal IV 2021. Sementara secara keseluruhan, berada di kisaran 3 persen hingga 4 persen sepanjang tahun ini.
Sependapat, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad juga melihat kebijakan pemerintah yang tidak ketat bagi mobilitas masyarakat pada akhir tahun bisa memicu peningkatan konsumsi. Namun, ia belum bisa memberi hitung-hitungan pasti.
"Asumsi ada kenaikan berapa persennya belum ada, tapi yang pasti lebih baik dari 2020 meski lebih dari 2019 sebelum pandemi," ujar Tauhid.
Secara riil, sambungnya, potensi peningkatan konsumsi ini terlihat jelas di mulai ramainya kunjungan masyarakat ke pusat perbelanjaan modern alias mal pada beberapa waktu terakhir. Begitu juga dengan booking hotel dan tempat wisata yang ikut meningkat.
Berbeda, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai efek pelonggaran kebijakan pembatasan mobilitas masyarakat pada libur Nataru belum akan signifikan mendongkrak pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2021. Sebab, kegiatan wisata masyarakat hanya cenderung menginap di hotel alias staycation.
Aktivitas ini cenderung singkat bila dibandingkan dengan liburan wisata ke luar kota untuk beberapa aktivitas sekaligus. Hal ini membuat pengeluaran masyarakat untuk berlibur jadi tidak tinggi.
"Khususnya masyarakat menengah atas, itu pun kalau mereka berpergian, mereka hanya di dalam kota, modelnya staycation, sementara yang ke luar kota, ada, tapi relatif masih terbatas," ucap Bhima.
Untuk itu, menurutnya, aliran pengeluaran masyarakat ke konsumsi rumah tangga tidak terlalu tinggi pada penghujung tahun. Belum lagi, beberapa harga kebutuhan pokok tengah meningkat, sehingga bisa membatasi pengeluaran masyarakat untuk berlibur.
"Cabai, telur, minyak goreng, kenaikannya cukup tajam, plus ada kenaikan harga gas non-subsidi, ini akan berpengaruh sekali terhadap tingkat daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. Jadi situasinya masih belum terjadi pemulihan seperti yang diharapkan," pungkasnya.