Pasalnya, pemerintah juga sedang berjuang menurunkan defisit APBN agar kembali ke level 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023 mendatang.
Selain itu, negara juga butuh dana besar untuk penanganan covid-19. Pemerintah masih harus menyalurkan banyak bantuan sosial (bansos) dan insentif demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Kalau tak pintar-pintar memilih prioritas, bisa-bisa dompet negara jebol.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, belum ada kepastian apakah sudah ada pihak swasta yang benar-benar berminat berinvestasi di ibu kota baru.
CNNIndonesia.com berupaya menghubungi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa untuk menanyakan apakah sudah ada kepastian dari pihak swasta berinvestasi di ibu kota baru, tetapi belum ada respons hingga berita ini diturunkan.
"Jika APBN tidak mampu kemudian investor tidak tertarik dengan pembiayaan IKN, maka proyek ini akan mangkrak dan menjadi museum pembangunan terbengkalai paling besar di Indonesia," jelas Nailul.
Bahkan, ia menilai nasib pembangunan ibu kota baru berpotensi sama dengan proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olah Raga Nasional (P3SON) Hambalang.
Megaproyek zaman mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu mangkrak setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyimpangan dan penyalahgunaan kewenangan oleh mantan menteri pemuda dan olah raga (menpora) Andi Mallarangeng.
Berdasarkan hitungan BPK, total kerugian negara dari proyek Hambalang mencapai Rp706 miliar yang didapat dari hasil audit investigasi pada 2012 hingga 2013.
Senada, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpendapat target pembangunan ibu kota baru terlalu agresif. Masalahnya, tak mudah menarik minat investor menanamkan dana di ibu kota baru.
Kebijakan pemerintah yang suka berubah membuat investor ragu. Terlebih, belum ada jaminan bahwa proyek ibu kota baru akan tetap berlangsung setelah Jokowi lengser pada 2024 mendatang.
"Pemerintahan yang baru bisa saja menganulir UU IKN, direvisi lagi. Tergantung partai politik penguasa," ucap Trubus.
Mau tak mau, kata Trubus, pemerintah harus tukar guling alias memberikan jaminan politik demi menggaet investor di proyek ibu kota baru.
"Bahasanya tukar guling, nanti ada kompensasi dari pemerintah. Misalnya pengusaha mau berinvestasi lalu pengusaha dijanjiin sesuatu, ada unsur politik," terang Trubus.
Ia menilai ada risiko dari jaminan politik yang diberikan pemerintah kepada pengusaha. Namun, risikonya terbilang lebih rendah ketimbang pemerintah harus menambah utang.
"Tapi tetap saja mengundang investasi sekarang tidak mudah karena masih pandemi. Ada urusan domestik di negara masing-masing," ujar Trubus.
Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah harus menjaga iklim investasi dengan cara memberikan kepastian hukum kepada mereka yang berminat berinvestasi di RI. Jangan sampai ada kebijakan yang berubah terus dalam waktu cepat.
"Iklim investasi terpengaruh dengan kepastian hukum, harus konsisten. Indonesia ini selalu inkonsistensi," jelas Trubus.
Di sisi lain, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan memberikan jaminan politik kepada pengusaha demi berinvestasi di ibu kota bukan jalan keluar yang baik. Sebab, tak banyak investor yang akan terlibat pasca pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang.
"Susah ini, lebih baik main regulasi, perencanaan matang, kemudian imbal hasil berapa, lebih pasti," tutur Bhima.
Meski begitu, regulasi di Indonesia seringkali bisa dipermainkan. UU IKN, kata Bhima, tak cukup kuat menjamin bahwa proyek itu akan berjalan sesuai rencana.
"Bisa saja pemerintah setelah 2024 menganulir aturan UU IKN karena keuangan tidak memungkinkan, utang tidak mungkin, investasi tidak masuk-masuk," jelas Bhima.
Lagi pula, tambah Bhima, potensi cuan yang diraup pengusaha juga tak besar di ibu kota baru. Hal ini karena mayoritas yang tinggal di ibu kota baru adalah aparatur sipil negara (ASN).
"Meski jumlah ASN banyak, tapi belum mampu mendatangkan keuntungan signifikan. Beda cerita dengan kawasan industri yang butuh hunian untuk pekerja dan menumbuhkan sumber ekonomi baru," ucap Bhima.
Oleh karena itu, ia memandang pemindahan ibu kota tak bisa dilakukan dengan cepat. Butuh uji kelayakan minimal 10 tahun sebelum memulai proyek konstruksi.
"Karena harus dilihat bukan hanya mampu membangunnya, tapi juga masalah dampak lingkungan dan konsekuensi terhadap pembiayaan negara," tutur Bhima.
Jika uji kelayakan sudah selesai, pemerintah baru dapat menilai apakah pemindahan ibu kota layak untuk dilakukan. Tak seperti sekarang yang terkesan terburu-buru.