Pandemi Covid-19 yang melanda dunia selama hampir dua tahun memberi sejumlah pembelajaran tentang pentingnya usaha mikro yang berkelanjutan (sustainability). Saat ini, digitalisasi, penguatan kelembagaan usaha mikro dan kecil (UMK), hingga kemudahan akses distribusi produk unggulan menjadi prioritas bagi pemerataan pemenuhan konsumsi dan produksi dalam negeri.
Untuk mendorong geliat ekonomi, pemerintah mencanangkan digitalisasi dengan target 30 juta pelaku usaha dalam ekosistem digital pada 2024. Kementerian Koperasi dan UKM RI mencatat saat ini sekitar 16,4 juta pelaku usaha sudah onboarding di ekosistem digital dan diyakini akan terus bertambah dengan cepat.
Selain itu, juga dilakukan penguatan kelembagaan atau klasterisasi yang memungkinkan UMK mencapai skala ekonomi lebih tinggi melalui integrasi rantai bisnis (ekosistem). Sehingga, UMK pun akan mendapat keuntungan, termasuk pada aktivitas pembelian, produksi, dan pengelolaan administrasi yang lebih efisien.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada saat bersamaan, pemerintah juga menggalakkan sektor ekspor non-migas, yang didominasi sejumlah produk primer seperti hasil pertambangan, pertanian, dan industri olahan. Langkah itu menjadi upaya kestabilan ekspor yang mencatat rata-rata pertumbuhan terkontraksi mencapai 8,6 persen. Pada 2020, tercatat impor migas maupun non-migas memperlihatkan penurunan, yang mengindikasikan pemenuhan kebutuhan dalam negeri dari impor juga mengalami keterbatasan.
Terlebih, kini varian baru Covid-19 bermunculan, membuat setiap negara menerapkan kebijakan buka-tutup pintu yang berbeda untuk mobilitas barang dan masyarakat. Direktur Bisnis Mikro BRI, Supari menyatakan, perlu penguatan daya saing produk lokal untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dengan berbasis local wisdom.
Sebagai bank yang berfokus terhadap UMK, sejak 2019 BRI yang memiliki jaringan di seluruh Indonesia dan bertujuan mendukung swadaya kelola dan kemandirian desa mengimplementasikan program Desa BRIlian. Saat ini, hampir 1.200 desa telah mendapatkan pendampingan program inkubasi desa, yang mencakup pengembangan potensi produk unggulan desa binaan.
Supari menyebut, banyak digalakkan pola konsolidasi. Namun, pada praktiknya masih dilakukan secara parsial, sehingga tak menciptakan sinergitas. Dia menilai, perlu diadakan perbaikan database dan digitalisasi sebagai enabler utama dalam pembentukan konsolidasi.
Data Kementerian Koperasi dan UKM mencatat, terdapat lebih dari 64 juta pelaku usaha yang didominasi UMK. Konsep klasterisasi diyakini akan mempermudah pelaku usaha untuk mendapatkan pemberdayaan dan informasi guna meningkatkan skala kapasitas produksi usaha.
"Selain itu, dalam kerangka penguatan kelembagaan usaha mikro perlu pendampingan hingga klaster usaha tersebut menjadi 'naik kelas'," kata Supari.
Dengan kelolaan yang mencapai lebih dari 10 ribu klaster usaha, BRI secara periodik melakukan identifikasi dan verifikasi perkembangan setiap klaster. Upaya itu bertujuan mengetahui kemajuan dari hasil pemberdayaan yang secara harian dilakukan oleh tenaga pemasar mikro BRI atau dikenal sebagai Mantri BRI.
BRI sendiri memiliki perjalanan pemberdayaan yang komprehensif, mulai pemberdayaan dasar hingga membuka pasar bagi pelaku usaha binaan. Dalam rangka mendukung skala bisnis klaster usaha binaan, lanjut Supari, BRI secara rutin mengadakan pameran yang bertujuan untuk memperkenalkan berbagai produk unggulan klaster usaha kepada masyarakat luas.
Tak sampai di sana, BRI juga mengkonsolidasikan klaster binaan kedalam sebuah 'outlet' pemberdayaan yang menampung produk dari seluruh Indonesia.
"Ke depannya, outlet ini akan berkembang menjadi sebuah platform berbasis teknologi yang dapat menyambungkan para klaster usaha binaan dengan pasar yang lebih luas dan besar," kata Supari.
Digitalisasi platform yang mengkonsolidasikan klaster usaha binaan BRI itu akan membentuk korporatisasi usaha mikro. Sehingga, skala ekonomi yang lebih besar, ekosistem usaha mikro terbentuk, dan dukungan terkait pengembangan melalui pemberdayaan dan pembiayaan juga dapat terpenuhi.
"Ke depan masih banyak yang harus dikerjakan untuk mewujudkan alternatif model korporatisasi melalui journey konsolidasi berbasis teknologi," ujar Supari.
(rea)