Lantas, apakah JKP tepat menggantikan manfaat JHT untuk mereka yang di-PHK?
Menurut Timboel, manfaat untuk pekerja kena PHK yang ditawarkan JKP sebetulnya lebih besar dari pada pencairan JHT. Misalnya, untuk pekerja bergaji Rp4 juta dengan masa kerja 2 tahun, maka tunjangan yang didapat selama 3 bulan pertama adalah Rp5,4 juta. Angka didapat dari manfaat 45 persen dari total gaji.
Sedangkan untuk 3 bulan selanjutnya yang bersangkutan mendapat gaji Rp1 juta per bulan atau 25 persen dari gaji, sehingga secara total pekerja ter-PHK di era JKP mendapat santunan Rp8,4 juta selama 6 bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara untuk pencairan JHT mekanisme lama, penerima manfaat mendapat 5,7 persen dari Rp4 juta atau Rp228 ribu per bulan. Jika dikalikan dengan masa kerja 24 bulan, maka yang bersangkutan mendapat Rp5,4 juta sekaligus.
Perhitungan belum ditambah dengan imbal hasil pengembangan. Jika rata-rata keuntungan yang didapat berkisar antara 5 persen-10 persen, maka bunga yang didapat sekitar Rp547 ribu.
"Jadi kalau ditotal sekitar Rp6,19 juta, tetap kalah jauh dengan Rp8,4 juta dengan masa kerja 2 tahun, dengan upah sama-sama Rp4 juta. Walau pun yang Rp6,9 juta lump sum, yang JKP setiap bulan," jelas dia.
Selain mendapat tunjangan lebih tinggi, di era JKP peserta juga mendapat manfaat tambahan berupa pelatihan dan informasi kerja.
Di sisi lain, tabungan JHT peserta tidak terkuras, sehingga manfaat masih bisa dinikmati di saat memasuki usia tak produktif.
Timboel menjelaskan iuran diambil dari 3 sumber pendanaan, yaitu setoran awal dari pemerintah senilai Rp6 triliun, iuran yang dibayarkan pemerintah sebesar 0,22 persen dari upah, dan rekomposisi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0,14 persen tambah rekomposisi Jaminan Kematian (JKM) sebesar 0,1 persen. Sehingga, iuran JKP ditetapkan sebesar 0,46 persen dari upah pekerja.
Artinya, jika pekerja mengklaim manfaat JKP, maka setoran iuran untuk manfaat JKK dan JKM dipotong setara dengan rekomposisi.
Dari hitungan Timboel, setiap satu orang di-PHK ditopang oleh iuran 98 pembayar aktif lainnya. Dengan demikian, jika peserta aktif JKM sebesar 11 juta orang, maka iuran pekerja dapat menutupi manfaat untuk 112,24 ribu pekerja kena PHK.
Menurut dia, angka PHK untuk pekerja terdaftar per bulan tak sebesar itu. Tapi, jika jumlah PHK melebihi perkiraan, maka manfaat akan dibayarkan lewat modal yang disetorkan pemerintah.
"Paling tidak dengan 0,22 persen iuran pemerintah tambah 0,24 persen rekomposisi, ditambah Rp6 triliun itu sudah cukup karena duitnya ditumpuk dulu setahun," ujarnya.
Di sisi lain, Timboel melihat masih ada permasalahan JKP, salah satunya adalah syarat untuk mendapat manfaat adalah peserta harus terdaftar di seluruh program jaminan sosial pekerja, mulai dari JHT, jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan pensiun (JP), jaminan kematian (JK), dan Jaminan Kesehatan.
Karena itu, ia menyebut tak semua peserta BPJS Ketenagakerjaan bisa mengakses manfaat JKP. Dari data dia total peserta yang tercatat sebanyak 16,2 juta orang, namun yang berhak mendapat manfaat JKP hanya 10,9 juta orang.
Selain itu, untuk mendapat manfaat JKP peserta juga harus menyetor iuran setiap bulannya, baik itu iuran dari pekerja atau pemberi kerja. Jika perusahaan lalai dan menunggak bayar, pekerja terancam tak mendapat manfaat JKP.
"Karena itu saya mengajak pekerja untuk aware mulai sekarang cari tahu apakah sudah menjadi peserta JKP apa belum?" ujarnya.
Selain itu, ia juga mengkritisi program yang tak mencakup pekerja migran atau TKI dan pekerja kontrak (PKWT).
Lihat Juga : |
"Padahal kalau membaca UU SJSN Pasal 15-16 mengatakan setiap peserta berhak mendapat manfaat dan informasi yang diikutinya, ketika pekerja PKWTdidaftarin, dibayar iuran, kan dia peserta juga," kata dia.
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi menilai terjadi salah kaprah bahwa JKP bakal menggantikan JHT. Menurut dia, kedua program bertujuan dan memberikan manfaat berbeda.
Ia menilai sah-sah saja jika pemerintah hanya mengizinkan klaim sebagian manfaat JHT untuk mereka yang sudah membayar iuran 10 tahun, tapi masalahnya bagaimana dengan mereka yang berhenti bekerja sebelum genap menyetor dana 10 selama 10 tahun?
Lihat Juga : |
"Permenaker Nomor 2/2022 itu kan yang dijelaskan hanya dana bisa dicairkan kalau sudah berusia 56 tahun dan kalau sebelum itu 30 persen untuk rumah atau 10 persen untuk lainnya, itu saja. Tapi kan engga ada bagaimana proses teknis kalau 5 tahun kena PHK sebelum genap 10 tahun," kata dia.
Tadjuddin menyebut berbagai skenario pekerja yang terjadi di lapangan tak tertuang dalam aturan teknis turunan uu. Jika dana yang disetorkan pekerja tak jelas keberadaannya dan hanya bisa diambil setelah mencapai usia 56 tahun, bukannya menjamin secara sosial, program malah tak bermanfaat bagi pekerja.
"Ini kan cukup serius, Anda membayar sampai 10 tahun nah berapa yang harus Anda terima? Kan tidak jelas," katanya.