ANALISIS

Pengamat soal JKP di Tengah Polemik JHT: Tak Konsisten

CNN Indonesia
Selasa, 22 Feb 2022 08:12 WIB
Pengamat menilai kelahiran JKP di tengah polemik JHT menandakan ketidakkonsistenan pemerintah dan aturan yang tumpang tindih.
Pengamat menilai kelahiran JKP di tengah polemik JHT menandakan ketidakkonsistenan pemerintah dan aturan yang tumpang tindih. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay).
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan meluncurkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pada hari ini, Selasa (22/2). Program ini digadang-gadang jadi pengganti Jaminan Hari Tua (JHT) yang oleh aturan baru tidak bisa dicairkan sebelum usia peserta 56 tahun, meninggal dunia, atau cacat total tetap.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Memang, aturan ini konon bakal direvisi setelah mendapat banyak penolakan. Jokowi bahkan memanggil Menaker Ida Fauziyah dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk merevisi Permenaker 2/2022.

Apalagi, peraturan yang baru seumur jagung itu langsung digugat ke Mahkamah Agung (MA) oleh seorang pekerja di industri perbesian bernama Redyanto Reno Baskoro. Ia menilai kebijakan tersebut tidak mencerminkan asas keadilan, ketertiban umum, dan kepastian hukum.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal bahkan meminta agar seluruh direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dipenjarakan. Ia menuding sebanyak 30 persen dana hari tua buruh yang dikumpulkan oleh BPJS Ketenagakerjaan digunakan untuk program perumahan peserta Jamsostek.

Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat juga menambah panjang daftar kritik buruh yang dilontarkan ke Menaker. Ia bahkan tegas menolak ucapan Ida Fauziyah yang menyatakan kebijakan JHT sebagai bentuk kasih sayang pemerintah ke buruh.

"Justru ketika buruh ter-PHK di tengah jalan, terus mohon maaf saja dia harus menunggu 16 tahun begitu jika dia berumur 40, dia mikir enggak tuh. Pemerintah mikir nggak? Bahwa serentang waktu 16 tahun dia hidupnya tuh dari mana?," ujar Mirah, Sabtu (19/2).

Pengacara kondang Hotman Paris Hutapea pun menantang Ida Fauziyah untuk berdebat terkait isi peraturan yang banyak menuai polemik itu. Ia menilai tidak ada alasan hukum untuk menahan uang pekerja yang dihasilkan oleh keringat pekerja itu sendiri.

Hotman justru mempertanyakan berapa lama seorang pekerja yang terkena PHK harus menunggu untuk menerima uangnya sendiri.

Di tengah polemik yang tak berkesudahan, JKP akan dilahirkan. Pengamat Asuransi sekaligus Dosen Program Magister Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM Kapler A Marpaung mengatakan kebijakan pemerintah terkait dana hari tua pekerja tidak konsisten dan berkesan tumpang tindih.

"Kalau pemerintah bilang untuk kepentingan pensiun, kan ada Jaminan Pensiun (JP), ngapain dipikirkan lagi? Kan sudah ada khusus buat itu? Kenapa JHT malah dialokasikan untuk pensiun baru boleh ambil pada saat masa pensiun, kan sudah ada yang khusus," katanya heran kepada CNNIndonesia.com.

Kapler juga mempertanyakan keuangan BPJS Ketenagakerjaan. Hal inilah yang membuat banyak spekulasi berkembang bahwa likuiditas perusahaan eks Jamsostek itu bermasalah. Atau, jangan-jangan investasi yang dijalankan tidak lancar?

[Gambas:Video CNN]

"Kalau saya melihatnya munculnya Permenaker 2/2022 ini jadi jawaban soal rumor bahwa BPJS Ketenagakerjaan bermasalah dengan hasil likuiditasnya. Kalau itu benar, maka untuk membayar kewajibannya ke peserta mereka keluarkan kebijakan yang baru," imbuh dia.

Kapler bahkan menyebut BPJS Ketenagakerjaan seperti perusahaan yang sedang melakukan 'restrukturisasi likuiditas' layaknya Asuransi Jiwasraya.

"Boleh dibilang ini kan semacam restrukturisasi juga. Ini bagian dari skenario restrukturisasi seperti Jiwasraya. Perbedaannya, Jiwasraya ada pengurangan manfaat. Sementara, BPJS nggak ada, tapi membuat kebijakan baru," jelasnya.

Ia mengaku tak tahu apa yang harus dilakukan pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan bila kondisi keuangan perusahaan tidak dibuka secara transparan. Ia menilai sulit mengidentifikasi masalah dan mencari jalan keluar jika ditutup-tutupi.

Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi menyarankan sebaiknya sebelum JKP dirilis pemerintah, BPJS Ketenagakerjaan selaku operator program untuk melakukan dua hal.

Pertama, BPJS Ketenagakerjaan sebaiknya mempublikasikan aturan teknis yang berkaitan dengan JKP kepada buruh, serikat pekerja, dan masyarakat. Agar polemik tersebut dapat dipahami secara komprehensif oleh semua orang.

"Itu kan amanat UU Cipta Kerja, sekarang sebenarnya aturan tersebut ada perbaikan sesuai dengan putusan MK, namun selama perbaikan tetap boleh diimplementasikan. Jadi pemerintah mau implementasikan JKP, tapi ini harus ada petunjuk teknisnya. Itu seharusnya yang menangani BPJS Ketenagakerjaan," kata Tadjuddin.

Kedua, ia mendesak BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan transparansi terhadap kondisi keuangan perusahaan agar tidak banyak mengandung spekulasi dan kecurigaan.

"Karena itu adalah semacam asuransi dan badan seharusnya transparan mereka, berapa dana yang dikumpulkan dan disalurkan untuk JKP, itu kan harus ada, tapi kan nggak pernah dilakukan selama ini dan itu uangnya nggak sedikit loh, ratusan triliun rupiah," ucapnya.

Di luar kedua hal tersebut, Tadjuddin menilai implementasi JKP bagi pekerja sebenarnya sah-sah saja untuk dilakukan lantaran program tersebut memang diamanatkan oleh UU Cipta Kerja. Selain itu, ia menilai JKP mengandung keadilan sosial bagi pekerja, namun perlu mengkomunikasikannya dengan baik agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berkepanjangan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyebut JKP yang ditawarkan sebenarnya memiliki manfaat non keuangan yang lebih baik untuk pekerja. Program tersebut menawarkan beberapa alternatif selain uang tunai bagi pekerja, seperti informasi pasar kerja dan pelatihan.

Timboel menilai opsi manfaat tersebut sebenarnya sudah sesuai dengan Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) Nomor 102 Tahun 1952 tentang Standar Minimal Jaminan Sosial. Terlebih, banyak negara Asia yang telah mengimplementasikan JKP sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh.

"JKP itu salah satu praktek internasional dan yang termuat dalam Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 itu ada 9 jaminan sosial. Kita baru ada 5, sekarang ditambah satu lagi, yakni JKP jadi ada 6. Di dunia sudah ada, Malaysia mulai 2018, Jepang bahkan sudah mulai 1974, dan lainnya sudah," terang dia.

Kemudian, Ia menilai angkatan kerja Indonesia yang masih didominasi pekerja dengan pendidikan rendah dinilai sangat membutuhkan pelatihan kerja yang dapat dihadirkan oleh JKP. "Dengan kondisi angkatan kerja kita 56 persen disumbang oleh lulusan SMP ke bawah kan sebenarnya pelatihan ini bisa meningkatkan skill (keahlian)," katanya.

Walaupun, ia menilai dana pelatihan tenaga kerja yang jumlahnya hanya Rp1 juta tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pekerja. "Misalnya mau las bawah laut atau membenahi jaringan di ketinggian, skill itu kan tak bisa hanya pakai dana Rp1 juta. Jangan sampai hanya training belaka," tuturnya mengingatkan.

Selain itu, Timboel juga menyarankan agar pemerintah mempersiapkan terlebih dahulu pasar tenaga kerja yang diamanatkan sebagai bagian dari JKP. Hal ini dilakukan agar tenaga kerja hasil pelatihan JKP tidak perlu mencari pekerjaan dan sudah tersedia di berbagai perusahaan yang sesuai dengan keahliannya.

Tak hanya itu, ia berharap kepesertaan dan manfaat JKP dapat dirasakan oleh kalangan pekerja yang lebih luas. Dari segi kepesertaan, ia berharap Pekerja Migran Indonesia (PMI) juga dapat menikmati program pemerintah itu agar mereka yang terkena PHK di luar negeri dapat kembali ke Indonesia dan bekerja di dalam negeri.

(fry/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER