Dari mana sumber pembiayaan ibu kota negara (IKN)?. Pertanyaan itu yang hingga kini masih menjadi teka-teki itu acap dilontarkan berbagai pihak seiring mulai dibangunnya ibu kota baru.
Pertanyaan makin mengemuka menyusul batalnya Softbank berinvestasi dari proyek yang ditaksir bernilai Rp466 triliun itu.
Maklum, Softbank sempat digadang-gadang Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan bakal menggelontorkan US$100 miliar atau Rp1.428 triliun (Kurs Rp14.428 dolar AS) untuk proyek itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Luhut mengungkap ada berbagai alasan perusahaan Jepang itu batal berinvestasi ke ibu kota baru. Pertama, CEO Softbank Masayoshi Son tidak akan lagi menduduki posisi sebagai Dewan Pengarah Pembangunan IKN.
Kedua, saham perusahaan anjlok dan memaksa Softbank menarik investasinya. Ketiga, mereka ditinggal oleh investor Timur Tengah.
Tak patah arang, Luhut menyatakan masih ada dua investor potensial lain yang mau membiayai pembangunan IKN. Menurutnya, UEA akan masuk ke proyek IKN melalui Sovereign Wealth Fund (SWF) dengan angka US$20 miliar atau setara Rp286 triliun (kurs Rp14.305 per dolar AS).
Lalu, Luhut juga sudah melobi Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman (MBS) bin Abdulaziz al-Saud untuk ikut membantu Indonesia. Saat ini, ia masih dalam tahap pembahasan.
Walau berbagai janji manis disampaikan oleh kedua pihak itu, hingga kini belum ada kejelasan kapan atau infrastruktur apa yang akan mereka bangun di IKN. Terlebih, jika dilihat sebetulnya Arab Saudi dan UEA bukan negara investor besar di Indonesia.
Mengutip data olahan BKPM/ Kementerian Investasi, pada 2015 tercatat nilai investasi Arab Saudi sebesar US$30,36 juta. Lalu, pada 2016 investasi merosot menjadi hanya US$939,6 ribu. Pada 2017 investasi naik menjadi US$3,53 juta.
Kemudian, nilai investasi pada 2018-2020 berada di kisaran US$5 jutaan per tahun dan turun menjadi US$3,63 juta pada tahun lalu.
Baik Arab Saudi mau pun Uni Emirat Arab tak masuk dalam 10 negara investor terbesar Indonesia. Sebagai perbandingan, Singapura sebagai negara investor pertama di RI menanamkan US$9,7 miliar pada 2020 dan US$9,3 miliar pada 2021.
Selain investor asing, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sempat menaksir sumber pendanaan pembangunan IKN, sekitar 19 persen-20 persen dana tersebut akan berasal dari APBN.
Selain itu, pembangunan ibu kota baru juga akan didanai melalui skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Jokowi menilai investasi secara langsung juga dapat dilakukan oleh swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Tak hanya itu, ia bahkan menyebut pendanaan dapat dilakukan dengan menerbitkan surat utang publik alias obligasi.
Dari pandangan Ekonom Senior sekaligus Guru Besar FEM IPB Didin Damanhuri, cabutnya Softbank dari IKN tak terlepas dari perkembangan yang terjadi di dalam negeri. Termasuk, dari besarnya pro kontra masyarakat hingga aspek keamanan di IKN.
Pasalnya, IKN dinilai tak seaman yang diklaim pemerintah. Contohnya bisa dilihat dari gempa bumi yang sempat mengguncang Kabupaten Paser, Kaltim, awal Maret lalu. Belum lagi banjir, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), longsor, dan lainnya yang juga masih mengancam daerah itu.
Ia menduga alasan lain Masayoshi Son keluar dari IKN berasal dari aspek pengelolaan keuangan negara. Didin menilai investor akan melihat kemampuan fiskal RI memenuhi pembangunan dasar infrastruktur.
Hal ini bisa dilihat dari defisit fiskal yang membengkak akibat pembiayaan pandemi covid-19 atau Utang Luar Negeri (ULN) yang mencapai US$413,6 miliar atau Rp5.938,4 triliun per akhir Januari 2022 kemarin.
"Masalah basis keuangan pemerintah yang dicerminkan dari APBN dan defisitnya seperti apa? Utang lndonesia gimana? Saya kira Softbank melihat keraguan-raguan dari sisi kesiapan pemerintah, itu akhirnya mereka memutuskan tidak jadi karena risiko bisnis," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (16/3).
Di sisi lain, Didin melihat minggatnya Softbank memberikan sentimen negatif atau dampak domino ke investor asing lainnya. Bukan tak mungkin, langkah SoftBank bakal diikuti UEA dan Arab Saudi.
Kalau sudah begitu, lantas siapa yang bakal membiayai IKN di tengah APBN yang sudah kembang kempis?
Menurut analisis Didin, menyoal investor potensial lain bisa dilihat dari sinyal Jokowi memilih profesional swasta sebagai Wakil Kepala Otoriita IKN, Dhony Rahajoe. Ia sempat menjabat sebagai Managing Director of President Office of Sinar Mas Land.
Didin menyebut terpilihnya Dhonny menjadi pertanda bahwa pemerintah membidik pengusaha swasta nasional untuk masuk ke IKN. Terlepas dari mau tidaknya swasta nasional berinvestasi di IKN, Didin menilai mereka sebetulnya cukup mumpuni jika dilihat dari data likuiditas Bank Indonesia (BI).
Seperti investor asing, pebisnis swasta pun murni melihat prospek bisnis dan keuntungan yang bisa diraup di IKN.
Tapi bedanya, ada unsur politik yang dikalkulasi pebisnis dalam negeri. Dalam kajian ekonomi politik, pebisnis sebagai pemburu rente pasti mencari tawaran yang bisa memberikan konsorsium bisnis menggiurkan.
Didin mengatakan garansi yang didapatkan oleh pebisnis adalah eksistensi pemerintahan saat ini. Selama pemerintahan tidak bubar dan pembangunan IKN bisa dilanjutkan, maka pebisnis bisa jadi mau masuk sebagai investor ibu kota baru.
Karena itu lah, sambung dia, Luhut getol mengkampanyekan penundaan pemilu. Ia yakin itu dilakukan guna mengamankan investor IKN.
"Seandainya berhasil upaya politik perpanjangan jabatan, garansi makin kuat lagi, tapi secara politik feasible (memungkinkan) engga? Ini bisa fifty-fifty," ujarnya.
Ia menambahkan ada kabar beredar dari salah satu menteri yang menyebut seorang pengusaha China siap menginvestasikan US$100 miliar ke IKN. Di sisi lain, ia pesimistis pembiayaan IKN bisa mengandalkan APBN atau BUMN yang saat ini juga tak sehat.