Negara, Minyak Goreng, dan Para Bandit
Negara kembali tak berdaya melawan dan mengendalikan korporasi. Fakta terang benderang ini terbuka dari pengakuan Menteri Perdagangan M. Lutfi yang mengaku tak mampu menormalisasi harga minyak goreng.
Ia menyebut ada mafia yang mengambil untung pribadi, sehingga berbagai kebijakan pemerintah tumpul di pasar. Lutfi mengaku Kementerian Perdagangan punya kewenangan amat terbatas. Karena itu ia menggandeng Satgas Pangan Polri untuk menindak mafia dan spekulan minyak goreng.
Kekalahan negara itu tercermin dari kebijakan 16 Maret 2022: mencabut beleid harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana dan premium yang sebelumnya berlaku sejak 1 Februari 2022. HET hanya untuk minyak goreng curah: Rp14.000/liter.
Ini berarti harga minyak goreng kemasan akan sepenuhnya mengikuti mekanisme pasar. Langkah mengunci pasar domestik dari gejolak harga di pasar dunia --lewat wajib pasok kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) CPO dan olein, wajib harga domestik (domectic price obligation/DPO), dan HET-- pun kandas di tengah jalan.
Memang benar tripel kebijakan ini kontroversial, melawan, dan merusak pasar. Kebijakan yang tidak ramah pasar itu berbuah pasar yang semula tenang menjadi kacau. Ini ditandai komplikasi masalah di minyak goreng: dari semula hanya soal harga tinggi, berikutnya barang kebutuhan pokok itu sulit didapatkan di pasar, tradisional dan modern.
Misalnya, kebijakan wajib DMO CPO dan olein 20% dan kemudian dinaikkan jadi 30% sebenarnya tak berarti (meaningless). Karena selama ini 36% buat pasar domestik.
Akan tetapi, semangat tripel kebijakan itu adalah mengoreksi beleid open market dan open trade di sawit, yang selama ini membuat kita tak berdaulat.
Dengan melepas kembali harga minyak goreng kemasan ke pasar, yang diikuti pembatalan beleid DMO dan DPO, sama saja negara menyerah. Begitu harga dilepas ke pasar, minyak goreng kemasan yang semula sulit ditemukan di pasar tiba-tiba membanjir.
Ini berarti ketika tripel kebijakan (DMO, DPO, dan HET) diberlakukan 1 Februari 2022, ada pihak-pihak yang menahan stok. Negara yang seharusnya hadir mengoreksi pasar, termasuk menyeret para spekulan dan penimbun ke meja hukum, justru bertekuk lutut.
Pasar Dikuasai Oligarki
Dari sisi pasokan, menurut Menteri M Lutfi, beleid DMO (14 Februari-16 Maret 2022) bisa mengumpulkan 720.612 ton minyak sawit dari 3,5 juta ton total ekspor CPO. Dari jumlah ini telah distribusikan 551.069 ton. Karena konsumsi minyak goreng tiap warga hanya seliter per bulan, jumlah ini setara dua kali kebutuhan.
Mestinya minyak goreng melimpah. Minyak goreng "hilang di pasar" karena struktur pasar industri minyak goreng jauh dari sempurna. Menurut KPPU, 4 grup produsen raksasa menguasai 46,5% pasar. Mereka menguasai usaha hulu-hilir: dari perkebunan, pengolahan CPO hingga pabrik minyak goreng. Dengan pasar oligopolis ini mereka leluasa mendikte pasar.
Dari sisi distribusi, rantai pasok minyak goreng juga belum sepenuhnya efisien. Saat ini, 45 (60,8%) dari 74 pabrik minyak goreng berbasis sawit ada di Jawa. Sementara Jawa bukan penghasil sawit. Akibatnya, margin perdagangan dan pengangkutan tinggi: 17,41% (BPS, 2021). Masing-masing titik distribusi mengutip marjin yang membuat harga akhir di konsumen melambung. Pasar mudah tak terkendali karena ditopang rantai pasok dan jalur rantai distribusi yang tak efisien.
Implikasinya, pasar tidak bisa berjalan sempurna karena ruang informasi dalam posisi asimetris (Stiglitz, 2005). Ditambah pasar yang oligopoli membuat negara kian tak berdaya mengendalikan harga minyak goreng.
Saat struktur pasar tidak sempurna, harga bisa diciptakan, bahkan disulap, dengan menciptakan "kelangkaan seolah-olah". Pasar seolah-olah langka, padahal kelangkaan itu disulap oleh pengendali pasar. Survei Susenas 2009 - 2013 (BPS, 2015) menunjukkan, bahan makanan pokok yang sering mengalami kenaikan harga seperti beras, beras ketan, gula pasir, bawang merah maupun putih, daging sapi, hingga cabai merah, ternyata memiliki pertumbuhan konsumsi negatif.
Bagaimana mungkin bahan makanan yang tingkat konsumsinya tumbuh negatif harganya terus naik? Bukankah itu bagai sulapan!
Kejahatan Sistemik
Perilaku tengkulak memainkan harga pada rantai distribusi demi meraih surplus dan mengorbankan konsumen adalah perilaku kejahatan sistemik. Dalam kamus Mancur Olson (2000), perilaku itu disebut bandit.
Menurut Olson, model bandit ada dua, yakni bandit menetap (stationary bandits) dan bandit berkeliaran (roving bandits). Munculnya bandit berkeliaran, acapkali diawali dengan melemahnya model bandit menetap.
Bandit menetap sengaja memberi hak keleluasaan warga untuk terus berusaha. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik pelbagai pungutan yang menjadi topangan hidupnya. Setelah rezim otritarian rontok, muncullah bandit berkeliaran. Model bandit ini mengokupasi sebuah wilayah, mengeksploitasi habis wilayah, lalu pergi. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menguras habis kekayaan di tempat itu tanpa menyisakan apa pun (Wibowo, 2008). Meski berbeda, sifat keduanya sama: menghisap.
Daron Acemoglu dari MIT dan James A Robinson dari Universitas Harvard dalam bukunya Why Nations Fail; The Origin of Power, Prosperity and Poverty (2012) berkesimpulan bahwa ketimpangan di negara miskin lebih disebabkan kebijakan dan kelembagaan ekonominya yang bersifat ekstraktif, yang hanya menguntungkan segelintir oligopolis.
Kondisi diperparah oleh kebijakan pemerintah yang tanpa sadar ternyata telah memfasilitasi terjadinya penguasaan pasar melalui kebijakan tata niaga yang salah.
Untuk mengeliminasi para tengkulak yang berlaku bandit dan menghisap surplus pasar, pertama, harus ada reformasi struktur pasar. Pasar oligopolis bisa dikoreksi dengan mendorong munculnya pelaku-pelaku usaha baru, baik di hulu maupun di hilir. Di hulu misalnya, perlu ada pembatasan penguasaan lahan untuk kebun sawit.
Reformasi struktur pasar tak untuk mematikan pelaku usaha lama, tapi mendorong munculnya pelaku usaha baru. Kedua, efisiensi rantai pasok. Caranya, mendekatkan industri pengolah dari bahan baku.
Ketiga, membenahi administrasi pergudangan. Ketika informasi gudang dikuasai, gerak arus barang dari satu titik ke titik lain mudah diawasi, termasuk fluktuasi harga.
(vws)Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-2020), dan peminat masalah sosial-ekonomi pertanian dan globalisasi. Telah menghasilkan lebih 1000 artikel/paper, menulis 6 buku, dan mengeditori 12 buku. Salah satu bukunya berjudul ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008).
Selengkapnya