Pemberian sanksi ekonomi ke Rusia oleh negara barat membuat sejumlah oligarki negeri beruang merah itu mulai khawatir.
Pasalnya, bukan hanya sanksi ekonomi kepada negara, beberapa aset para orang super tajir di Negeri Beruang Merah yang ada di luar negeri juga ikut disita oleh negara barat.
Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan sumber kekuatan Putin terletak pada oligarki yang mengeruk sumber daya sekaligus menjadi mesin finansial yang tersebar di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Upaya sanksi AS, Jepang dan negara-negara Eropa lain akan melemahkan sumber pendanaan bagi keberlanjutan pemerintahan Putin," kata Bhima, Jumat (25/3).
Bahkan, imbuhnya, akibat dari saling sanksi itu, muncul indikasi oligarki mulai menjauhi Putin karena langkahnya terbukti membahayakan stabilitas ekonomi Rusia dalam jangka panjang.
"Para oligarki bisa saja tengah mempersiapkan coup (kudeta) di lingkaran internal Putin. Bukan hanya aset para oligarki yang disita oleh otoritas di negara barat, nama mereka pun dilarang untuk melakukan transaksi keuangan, artinya dimiskinkan secara sistematis,"jelas Bhima.
Bhima menambahkan jika dengan banyaknya oligarki mulai was was, bukan tidak mungkin hal itu bisa menjadi titik terang dari konflik Rusia dan Ukraina.
"Bisa (selesai perang) kalau sanksi terhadap para oligarki nya makin ketat. Tidak menutup kemungkinan para oligarki akan biayai oposisi di internal pemerintahan Putin, lalu tekanan tadi membuat Putin menghentikan perang dengan Ukraina," imbuh Bhima.
Salah satu pengusaha terkaya Rusia, Vladimir Potanin mengaku was-was dengan ancaman Putin yang bakal menyita aset perusahaan yang melarikan diri dari negerinya.
Pasalnya, penyitaan aset dapat membuat Rusia bergerak mundur ke era 100 tahun yang lalu, yakni pada 1917. Kala itu, sejumlah gejolak revolusi menghantam Rusia.
"Konsekuensi dari langkah itu, ketidakpercayaan global terhadap Rusia dari pihak investor akan kita alami selama beberapa dekade," ujarnya dikutip dari CNN, pada Sabtu (12/3).
Selain Potanin, oligarki Rusia yang ada di lingkaran Putin, Mikhail Khodorkovsky juga mulai meninggalkan orang nomor satu di Rusia itu.
Khodorkovsky yang kini mengaku penentang Putin memandang Presiden Rusia itu sama dengan Diktator Jerman Adolf Hitler.
Kepada CNN, Khodorkovsky mengatakan bahwa situasi yang saat ini terjadi di Ukraina tak berbeda dengan situasi kala Hitler menyerang Eropa. Dia pun menyebut apa yang dilakukan negara Barat dalam menghadapi Putin seolah kembali mengulang kesalahan yang sama di masa lalu.
"Saya percaya bahwa sebenarnya apa yang kita lihat sekarang adalah bahwa para pemimpin Barat mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan pendahulu mereka bertahun-tahun yang lalu dengan Hitler. Ketika Hitler sangat rentan saat itu, ketika dia mencoba untuk menyerang Eropa," ujar Khodorkovsky kepada CNN, dikutip Kamis (24/3).
Selain Khodorkovsky, baru-baru ini, tangan kanan Putin, Anatoly Chubais, mundur dari posisinya sebagai perwakilan lobi-lobi internasional.
Keputusan itu diambil ketika Rusia terus dihujani sanksi ekonomi dan boikot oleh komunitas internasional setelah hampir sebulan menginvasi Ukraina.
Chubais bahkan dikabarkan langsung meninggalkan Rusia setelah menyatakan mengundurkan diri lantaran posisinya yang menentang keputusan Putin menginvasi Ukraina.
Kabar pengunduran diri Chubais pun menjadi angin segar bagi negara barat yang hingga saat ini kelimpungan mencari cara menjinakkan Rusia agar berhenti menggempur Ukraina.
Sebelumnya, seorang pengusaha Rusia yang pernah bertikai dengan pemerintah, Alex Konanykhin, bahkan membuat sayembara Rp14,3 M untuk menangkap Putin. Ia melakukan hal itu lantaran Putin tak henti-hentinya menggempur Ukraina.
"Sebagai seorang etnis dan warga negara Rusia, saya melihatnya sebagai kewajiban moral saya untuk memfasilitasi denazifikasi Rusia," ujar Konanykhin dalam sebuah unggahan di Facebook, awal Maret lalu.
Ia juga menilai bahwa Putin bukanlah sosok presiden. Menurutnya, Putin bisa berkuasa karena melakukan operasi khusus dengan meledakkan gedung-gedung apartemen Rusia serta melanggar konstitusi yang berlaku.