Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memberi bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng sebesar Rp300 ribu per penerima untuk meringankan beban masyarakat di tengah kenaikan harga bahan pangan tersebut. Rencananya, BLT akan diberikan pada Ramadan ini.
BLT minyak goreng ini menambah deretan program bantuan dari pemerintah yang marak diberikan ke masyarakat sejak pandemi covid-19 muncul dua tahun terakhir. Sebelumnya, Jokowi punya Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, BLT Dana Desa, Kartu Prakerja, hingga BLT Subsidi Upah.
Seluruh program BLT ini seperti mengingatkan masyarakat pada era Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, SBY menggelontorkan BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM subsidi pada Juni 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengakui kebijakan BLT Jokowi mirip-mirip dengan SBY.
"Dulu jaman SBY juga ada BLT karena memang ada kenaikan harga BBM yang besar. Sedangkan kalau subsidi barang butuh proses waktu yang lama dan ada celah korupsi, maka diberi seperti BLT," ucap Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (6/4).
Kendati serupa dengan era SBY, menurut Bhima, kebijakan BLT sejatinya sah-sah saja dilakukan Jokowi pada saat ini. Toh, dari sisi tekanan ekonomi memang besar dan masyarakat perlu bantuan.
Selain itu, pemberian BLT juga banyak dilakukan di negara-negara lain. Dengan begitu, sah-sah saja jika Pemerintah Indonesia banyak mengucurkan BLT ke masyarakat.
"Sah-sah saja bagi Pak Jokowi untuk menduplikasi apa saja yang sudah dilakukan Pak SBY, entah nama (BLT-nya) sama atau tidak, yang penting tepat sasaran," katanya.
Tak cuma tepat sasaran, menurutnya, BLT juga perlu diberikan dengan besaran yang cukup. Minimal, bisa mengompensasi kenaikan inflasi yang terjadi saat harga komoditas menjadi mahal.
BLT, sambungnya, juga harus bisa diberikan dengan porsi waktu yang pas. Hal ini berarti ketika tekanan ekonomi masih terjadi, maka BLT perlu terus diberikan kepada masyarakat. Jika sudah pulih, baru bisa ditarik.
[Gambas:Video CNN]
Tapi, Bhima juga tetap meminta pemerintahan Jokowi tak hanya mengandalkan BLT untuk mengganjal perut rakyat. Sebab, stabilitas dan ketahanan pangan serta energi tetap harus diwujudkan.
"BLT tidak bisa berdiri sendiri, harus ada stabilisasi harga ke depan," imbuh Bhima.
Setali tiga uang, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menilai tak ada yang salah bila pemerintahan Jokowi getol menggelontorkan BLT kepada masyarakat seperti era SBY.
"Saya kira SBY pun mengambil contoh dari negara lain untuk social assistance dan adopsi kebijakan sosial ekonomi ini. Ini merupakan hal lumrah untuk dilakukan," ujar Yusuf.
Namun, Yusuf menekankan pemberian BLT oleh pemerintah sudah sewajarnya lebih baik dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, tidak salah sasaran, salah data, salah besaran, apalagi korupsi.
"BLT kerap terbukti berhasil sebagai strategi jangka pendek untuk menopang daya beli kelompok menengah ke bawah. Namun, sedapat mungkin error-nya diminimalisir ke level yang sangat rendah," ucap Yusuf.
BLT Migor Bukan Solusi
Sementara Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda memberi catatan berbeda. Menurutnya, BLT boleh diberikan ke masyarakat, tapi tidak dengan BLT minyak goreng.
Pasalnya, Huda melihat BLT minyak goreng merupakan solusi tidak tegas pemerintah kepada pengusaha yang enggan bekerja sama untuk mengikuti kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET).
"Padahal swasta masih mampu produksi, namun enggan bekerja sama dengan pemerintah. Akibatnya, ketika harga sudah tinggi, swasta ingin lebih tinggi lagi untuk meraup keuntungan yang berlimpah. Makanya swasta bergembira dengan adanya BLT, di mana produk mereka bisa dibeli dengan harga sesuai keinginan mereka," jelas Huda.
Menurut Huda, BLT seharusnya diberikan ketika masyarakat dan pengusaha sama-sama tertekan. Sementara saat ini, banyak pengusaha yang sebenarnya mendapat berkah dari kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO), tetapi enggan menyisihkan sedikit untuk harga minyak goreng murah bagi masyarakat.
"Jadi BLT ketika pandemi oke, tapi BLT minyak goreng big no," tutur Huda.
Sebelumnya, Partai Demokrat menyindir Jokowi yang menyalurkan BLT minyak goreng dan BLT untuk pekerja bergaji di bawah Rp3,5 juta. Pasalnya, kebijakan itu kontras dengan sikap Jokowi saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang banyak mengkritik BLT era SBY.
Jokowi saat menjabat Gubernur DKI Jakarta memang tidak setuju terhadap program bantuan tunai sebagai bentuk kompensasi kenaikan harga BBM subsidi pada Juni 2013 lalu.
Jokowi menyebut BLT atau BLSM lebih baik disalurkan kepada pengusaha dan rumah tangga produktif.
Sikap tidak setuju Jokowi kala itu viral di media sosial. Sejumlah netizen membandingkan sikap Jokowi dulu dengan saat ini yang memilih menyalurkan BLT.
[Gambas:Video CNN]