Analis Kripto sekaligus Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai pemerintah bergerak cepat memajaki aset kripto karena mengejar cuan di tengah seretnya APBN. Maklum, banyak pembiayaan yang dibutuhkan negara saat ini.
Usai dihantam pandemi covid-19, kini pemerintah mesti menghadapi kenaikan harga minyak dan gas dunia yang selangit. Belum lagi, pembiayaan ibu kota negara (IKN) yang belum juga memiliki investor pasti.
Ia melihat pertumbuhan volume dan investor kripto yang tiga kali lipat lebih besar dari bursa efek membuat Kementerian Keuangan sudah mengeker kripto dari jauh-jauh hari. Tak ayal, pengenaan pajak di Indonesia malah berlaku lebih cepat dari AS atau India yang saat ini lebih longgar dalam transaksi kripto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini terus dikeker sama Kemenkeu, aset dana kelola di atas Rp100 triliun, ini sudah masuk radar Menteri Keuangan (Sri Mulyani), dan memberlakukan secara cepat dan tepat untuk pengenaan pajak," imbuh dia.
Ibrahim mengungkap dengan berlakunya pajak di aset kripto, secara tidak langsung pemerintah telah mengakui bahwa keberadaan kripto sebagai aset legal, meskipun bukan berupa uang atau alat pembayaran.
Ia pun menilai sah-sah saja kripto dipungut pajak karena aset yang bersifat komoditas lain juga dikenakan pajak. Karenanya, ia mendukung keputusan pemerintah menarik pajak kripto.
"Mau untung atau rugi ya harus kena PPN. Jangan salah, kalau bursa kripto terbentuk, komoditas seperti valas. Yang sekarang sedang dikejar Kemenkeu ialah investor 12 juta yang asetnya sampai ratusan triliun rupiah," terang dia.
Ibrahim berpendapat penarikan pajak di kisaran 0,1 persen-0,2 persen merupakan angka yang pas. Ia menduga pajak dipatok cukup tinggi agar investor lebih berhati-hati dalam setiap transaksinya, mengingat kripto merupakan instrumen yang spekulatif.
Di sisi lain, Ibrahim menilai ke depannya seharusnya pengawasan kripto tidak hanya di bawah Bappebti saja. Tetapi juga, Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tujuannya, menjaga keamanan dana nasabah atau investor.
"Kalau sudah blockchain, OJK harusnya turun tangan walaupun saat ini transaksi blockchain dilaporkan ke Bappebti, tapi belum bisa dijadikan alat yang kuat karena di sini membahas masalah keamanan dana nasabah," tandasnya.
(bir)